Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Mustahil memungkiri pluralitas suku, etnis, dan
agama yang hidup di negara ini. Bahkan teks-teks suci agama pun menyebutkan
bahwa keberagaman dan perbedaan merupakan fitrah yang diciptakan Tuhan. Maka
mengingkari perbedaan dan keberagaman juga berarti meragukan kekuasaan Tuhan.
Dalam ayat suci al Quran di jelaskan “Likullin ja'alnaa minkum syir'atan
waminhaajan walaw syaa-a allaahu laja'alakum ummatan waahidatan walaakin
liyabluwakum fiimaa aataakum faistabiquu alkhayraati - Untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan.[ QS. Al Maa'idah 48: 48].
Menyikapi adanya banyak agama, ada pertanyaan
mengapa Allah Swt tidak menetapkan sebuah agama dan syariat
yang satu untuk semua masyarakat sepanjang sejarah, sehingga hal ini tidak akan
menimbulkan perselisihan? Menjawab pertanyaan ini, ayat ini menegaskan,
Allah Swt mampu menjadikan semua masyarakat sebagai umat yang
satu, serta mengikuti satu agama, Tapi hal ini tidak sesuai dengan
prinsip penyempurnaan dan pendidikan manusia secara bertahap. Sebab, dengan
berkembangnya pemikiran umat manusia, maka banyak hakikat yang harus semakin
diperjelas dan metode yang lebih baik dan sempurna juga harus dipaparkan untuk
kehidupan manusia.
Dalam konteks Indonesia, keragaman sebenaranya
bisa dijadikan pemicu dinamika progresif kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Namun sayangnya masih banyak pihak yang memahami fakta perbedaan sebagai barang
haram di negeri ini. segala sestua yang berbeda kerap dianggap hina dan perlu
dikucilkan serta diasingkan dari ruang tata kehidupan. Sudah banyak contoh
tindakan-tindakan yang mendiskriminasikan perbedaan. Sebut saja di antaranya
seperti perilaku sebagian pemeluk agama yang mengklaim agamanya paling benar,
sementara agama yang lain salah dan karena itu tidak berhak dan dilarang berkembang
di masyarakat.
Menurut Prof Dr H Fauzul Iman, MA, jika keadaan
semacam ini dibiarkan hak kebebasan beragama seseorang menjadi tidak dihormati
dan puncaknya tatanan sosial dapat hancur. Prof Dr H Fauzul Iman juga
menambahkan bahwa toleransi dan kebebasan agama bukan sekedar ditujukan pada
pengalaman keagamaan dalam tradisi yang mapan. Hal-hal lain yang “baru” juga
harus mendapatkan tempatnya secara layak. “Al-Qur’an mempolakan keragaman
kehidupan dengan amat jelas melalui perbedaan pandangan (minhaj), potensi dan
jalan hidup (syir’ah) yang dimiliki umat manusia (Q.S. 5:48). Perbedaan itu
dimaksudkan Tuhan sebagai jalan berlomba (berkompetisi) meraih kebaikan.
Sebaliknya umat manusia yang mengingkari perbedaan (keragaman) berarti
menafikan kebaikan dari Tuhan,” Ungkap Prof Dr H Fauzul Iman.
“Laysa albirra an tuwalluu wujuuhakum qibala
almasyriqi waalmaghribi walaakinna albirra man aamana biallaahi waalyawmi
al-aakhiri waalmalaa-ikati waalkitaabi waalnnabiyyiina waaataa almaala 'alaa
hubbihi dzawii alqurbaa waalyataamaa waalmasaakiina waibna alssabiili
waalssaa-iliina wafii alrriqaabi wa-aqaama alshshalaata waaataa alzzakaata
waalmuufuuna bi'ahdihim idzaa 'aahaduu waalshshaabiriina fii alba/saa-i
waaldhdharraa-i wahiina alba/si ulaa-ika alladziina shadaquu waulaa-ika humu
almuttaquuna "
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang
meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar imannya; dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa [QS. Al Baqarah: 177].
Perbedaan harus nya membuat kita sadar bahwa sebagai
manusia yang berbudi, mempunyai pemikiran cerdas dan mencintai kebersamaan
bahwa hidup ini akan semakin kaya jika menampung perbedaan aspirasi, kita
mengelola perbedaan itu menjadi sebuah kehidupan yang demokratis, menerima
kritik maupun saran. Sikap seperti ini tentu nya jauh lebih mulia dari pada
kita hanya mencoba menghakimi orang lain yang berbeda. Landasan berpikir dengan
mengambil perbedaan hanya sebuah dinamika tanpa perlui harus di musuhi akan
membuat kita menjadi peradaban maju baik secara agama, negara dan kemanusiaan,
kita lihat saja sejarah telah mencatatkan berapa banyak Imam madzhaf, filosof
dan tojoh sufi yang lahir dari buah pemikiran yang tidak menyudutkan. Pemikiran
itu di bingkai dengan etika dan akhlak Islam maka akan menjadi kekuatan besar.
Anak muda yang santun dan peduli akan tetap berpikir jernih
terhadap kondisi bangsanya, ia tetap optimis tanpa harus melakukan perlawanan
dan gerakan radikal yang justru mencederai nama dan kemuliaan agama itu
sendiri. Perlu kita kutip susunan bait dari lagu yang di populerkan oleh
Pujiono, seorang anak muda sederhana yang ikut dalam sebuah lomba audisi di
salah satu stasiun televisi swasta, kelihatan sekali bahwa ia betul menghayati dan
mencintai negerinya. Lirik tersebut adalah Bersatu di Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia negara kita
tercinta, Kita semua wajib menjaganya, Jangan sampai kita terpecah belah, Oleh
pihak lainnya, Pancasila dasar negara kita, Dengan UUD empat limanya, Jangan
sampai kita diadu domba, Oleh bangsa lainnya. Mari berbuat
sesuatu hal yang jauh lebih penting untuk bangsa. Berkarya melalui apa saja
dengan wujud cinta dan saudara. Satu untuk semua yaitu bangsa Indonesia. Agama Islam
untuk dunia. Maka wujudnya adalah dengan mengedepankan moral dan bertaqarrub
kepadanya.
*Penulis Adalah Alumni Program Magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar