Oleh Dr. Asep Usman Ismail
a yang berarti menciptakan atau mengadakan sesuatu yang baru.
Dalam Islam, bid’ah adalah segala hal baru yang tidak ada dalam ajaran
Islam yang dibawa oleh Rasullah saw., baik dalam bidang akidah maupun dalam
bidang ibadah. Secara garis besar, bid’ah terbagi dua, bid’ah hasanah
dan bid’ah sayyi`ah atau bid’ah qabîhah. Bid’ah hasanah
secara bahasa berarti bid’ah yang baik. Dalam Islam, bid’ah hasanah
adalah yaitu bid’ah yang tidak terkait dengan masalah akidah dan ibadah,
tetapi bid’ah dalam bidang sosial dan kebudayaan. Bid’ah bid’ah
sayyi`ah atau bid’ah qabîhah secara bahasa adalah bid’ah yang
buruk atau bid’ah yang jelek; sedangkan dalam Islam, bid’ah
sayyi`ah atau bid’ah qabîhah adalah bid’ah dalam akidah
dan ibadah.
Pandangan
Mu’tazilah bahwa Allah tidak memiliki sifat, Al-Qur`an makhluk, nasib orang
beriman yang melakukan dosa besar di akhirat tidak di neraka dan tidak di
surga, tetapi di suatu tempat antara surga dan neraka. Demikian juga pandangan para
filosof Muslim bahwa Allah tidak mengetahui detil-detil sesuatu yang terjadi di
bumi adalah contoh bid’ah dalam akidah. Bid’ah dalam ibadah adalah menambahkan
bacaan atau gerakan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw sebagaimana
ditegaskan oleh beliau: “Siapa saja yang melalukan amaliah yang tidak berdasar
perintah kami, maka amaliah itu ditolak”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
Terhadap
bid’ah dalam akidah dan ibadah ini, Rasulullah saw bersabda: “Sungguh
sebaik-baiknya pembicaran adalah (membahas) kitab Allah, bimbingan yang terbaik
(dalam beragama) adalah bimbingan Muhammad (melalui hadits Rasulullah saw);
sedangkan hal yang paling buruk (dalam beragama) adalah mengada-adakan sesuatu
(yang tidak dilakukan Rasulullah saw); karenanya setiap bid’ah (dalam
agama) adalah sesat”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
Bid’ah
dalam masalah sosial dan kebudayaan dinamakan bid’ah hasanah, karena
merupakan keniscayaan hidup di zaman modern seperti memanfaatkan kemajuan sains
dan teknologi guna mempermudah hidup di abad global ini. Adapun tentang tradisi
(adat), Ibn Taymiyah membaginya ke dalam tiga klasifikasi. Mahmûd fi al-dîn,
terpuji dalam agama; madzmûm fi al-dîn, tercela dalam
agama; dan mubâh fi al-dîn, boleh-boleh saja dalam agama. Kaum
Muslimin hanya dibolehkan mengikuti adat, tradisi atau kebudayaan yang terpuji
dan mubah dalam agama. Tidak bolehkan membudayakan tradisi yang tercela
menurut agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar