Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Dalam sebuah tulisan di media jejaring sosial
seseorang membuat sebuat statemen dalam statusnya yang sekira-kira bunyinya
“Hore, kita sudah memasuki alam demokrasi, alam kebebasan, dimana orang bebas berbicara
apa saja, kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja tanpa harus meyegani
ruang dan waktu, inilah dia negara kebebasan yang dinamakan demo crazy”. Di sisi
lain dalam waktu diskusi bahkan hal ini sering di buat menjadi isi sebuah
artikel dan opini dengan melempar sebuah pernyataan seperti ini “Bahwa kita jangan terlalu melampaui
pemikiran para jumhur ulama karena pada dasarnya mereka adalah orang yang
serius mengeluarkan ijtihad memberikan fatwa”, dua hal kasus ini sebenarnya
adalah mereka orang yang tidak ingin direpotkan dengan kebebasan berpikir karena
beranggapan justru kebebasan ini telah mencederai sesuatu hal yang paling substantif
dari sebuah tradisi.
Dari dua kasus tersebut dapat di pastikan sebenarnya mereka itu memang
mempunyai sebuah idealisme tetapi tidak diiringi dengan logika ijtihad yang elastis,
corak berpikir maju dengan melakukan uji coba terhadap hasil ijtihad, bukankah
ijtihad itu juga merupakan wilayah yang masuk dalam pemikiran. Sepanjang apa
yang kita sampaikan itu merupakan hasil dari olah pikir yang mendalam, bisa di pertanggungjawabkan
adalah hal yang sah-sah saja karena memang pada dasarnya masa terus berputar
kehidupan silih berganti, meyakini bahwa kebenaran itu adalah satu merupakan
bentuk sebuah keegoan sementara itu logika keduniawiaan yang selalu dikaitkan
dengan logika mistik tanpa pendekatan yang relevan sesuai dengan zamannya dari
budaya, sosial, pendidikan, politik maka ia hanyalah mimpi untuk memeluk sebuah
peradaban.
Dalam sejarah kita pernah berjaya di masa
peradaban klasik Islam di zaman hidupnya rasulullah saw dan sahabat, begitupun setelahnya
yaitu ditahun 650-1250 seperti yang disebut oleh Harun Nasution sebagai pejuang
awal pendirian sekolah pasca sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dalam bukunya Islam Rasional, bahwa masa kecemerlangan Islam yang di istilahkannya sebagai “The
golden age of science in Islam”, karena pada dasarnya frame yang ada
di masa klasik itu merupakan pemikiran yang terurai tanpa di kungkung oleh satu
ideologi dan kepentingan. Pemikiran itu di giring untuk mencoba meretas kebekuan
ijtihad menemukan sesuatu hal yang tersembunyi melalaui ayat-ayatnya Allah SWT
baik yang tersirat maupun tersurat. Yaitu tertulis dalam kitab-Nya atau yang
terbentang di alam. Semua di baca untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik,
meramu pemikiran itu sesuai dengan nilai syariat, tanpa harus khawatir terhadap
asing, kafir dan lain sebagainya. mereka para shalafussaleh adalah orang-orang yang berjuang demi idealisme dan
melihat dari berbagai hal dalam mewujudkan tatanan maqasid syariah (tujuan
syariat) tersebut.
Pemikiran masa lalu tidak harus selalu diterapkan
di masa modern karena alam, kebijakan, dan kemajuan sudah jauh berubah,
pemaksaan terhadap frame yang pernah berjaya untuk konteks kekinian adalah
bentuk ketidak adilan terhadap masa depan, bukankah peradaban klasik yang kita
banggakan itu juga ternyata mengagungkan kebebasan berpikir, di situlah banyak
terlahir mufassir, fuqaha, filsuf, cendikiawan, sastrawan dan lain sebagainya
karena memang seperti penulis kutip dari pernyataan Musa Asyari sebagai Rektor
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta bahwa Kebebasan berpikir
adalah anak kandung peradaban.
Sepanjang pemikiran itu dibingkai dengan sebuah
konsep yang sistematis, penalaran yang logis dan mempunyai teori-teori yang
kuat untuk mendukung sebuah argumen adalah suatu keharusan sebagai tuntutan
zaman, tentunya bukanlah pemikiran yang serampangan asal bicara, karena
disitulah letak anugerah dari sebuah akal yang di berikan oleh sang Tuhan dan
ketika akal logis ini kita pergunakan maka hasilnya adalah penguasaan
terhadap dunia sebagai wahana untuk mensyukuri nikmat Tuhan itu sendiri, karena
kita disebut sebagai khalifah justru memang ketika kita harus mampu menjadi
pengelola yang baik, pengelola yang baik itu akan hadir ketika kita mampu
berpikir cerdas dan kreatif. Bukan hanya deontologis mengagungkan kebesaran
Tuhan atau teks wahyu tanpa pikir panjang bagaimana sesungguhnya teks itu menjadi
sesuatu hal yang lebih hidup transpormatif humanistik.
Ada tiga pola yang menjadi kecenderungan manusia,
pertama adalah ide tanpa aksi, kedua aksi tanpa ide dan ketiga adalah ide
diiringi dengan aksi atau langkah nyata, dua hal pertama hanyalah sesuatu
yang tidak berarti bahkan terlepas hukum, hal ini disebabkan karena ide
merupakan pemikiran yang hanya terlintas dalam akal dan hati tanpa perbuatan,
artinya tidak ada yang tahu karena ia memang tidak terbukti, kedua aksi tanpa
ide, walaupun banyak orang berpikir gelap terhadap tuntutuan nafsunya, tapi lebih
tepatnya hal ini hanyalah diperkhususkan kepada orang yang tidak mempunyai
akal, walaupun berbuat dengan sesuatu hal yang tidak bermoral tetap saja ia tidak
bisa diperkarakan, sedangakan pola pemikiran berikutnya adalah mereka yang
bertanggung jawab atas perbuatannya tetapi tetap ada saja orang yang berpikiran
abu-abu dalam menutupi kebobrokan dan kejahatannya, dalam hal ini tidak menutup
kemungkinan seseorang misalnya berbuat korup, telah terbukti nyata, namun segala
bentuk dan tindakan tersangka seolah menyulitkan para penyidik, berkelit dalam
kebobrokan yang sudah terbukti guna untuk menyelamatkan diri dari dakwaan sosial
atau mungkin juga untuk meringankan dari sebuah tuntutan hukum.
Aksi-aksi kekerasan atas nama agama, budaya, dan
membendung ijtihad bukanlah solusi dan bentuk kebebasan yang beradab, ketika
kelompok-kelompok tertentu mengharamkan demokrasi dengan segala macam kebebasan
yang di anugerahkannya dalam berdinamika dan berdialog, justru di saat itu
golongan tersebut sesungguhnya memakai demokrasi sebagai alat untuk menghakimi
orang yang berbeda, sebagai lawan, menyebut kafir, dan berperang seolah atas
nama Tuhan. Pemikiran yang di sarikan
atas nama syariat Islam ini sesungguhnya akan memelihara perkembangan dan
mewujudkan kemanusiaan, harmonisasi dan peradaban. Jika menolak perbedaan dan pemikiran,
yang ada, maka sama halnya telah menolak akan takdir dan ketetapan Allah SWT.
Sikap optimisme dan aspirasi-aspirasi logis yang tiada henti inilah sesungguhnya
yang diinginkan oleh bangsa ini untuk sebuah kemerdekaan yang utuh, bermartabat
dan lebih baik karena pada dasarnya itulah yang menjadi fundamen the
founding fathers nya negeri ini.
*Penulis adalah Alumni Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar