Oleh Muhammad El Maghfurrodhi
Pada suatu malam
seorang presiden bekerja di kantornya untuk urusan negara. Tiba-tiba, putranya
datang untuk urusan keluarga. Sebelum pembicaraan berlangsung lama, sang
presiden bertanya kepada anaknya, “Wahai anakku, apakah kamu hendak
membicarakan urusan negara ataukah kamu ingin membicarakan urusan keluarga
denganku?” Sang anak menjawab, “Saya akan membicarakan urusan keluarga, Ayah.”
Maka seketika sang presiden memadamkan api dan mereka berbicara dalam
kegelapan. Ketika ditanya mengapa lampu dipadamkan, ia menjawab bahwa
pembicaraan mereka adalah urusan keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan
negara, sedang minyak yang dipakai untuk menerangi tempatnya bekerja itu adalah
dibeli dengan uang negara.
Itulah sepenggal
kisah kebaikan kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Kedudukannya sebagai pemimpin
negara tidak menjadikannya buta dan serakah terhadap kenikmatan dunia.
Posisinya yang sangat dekat dengan surga dunia sama sekali tidak menjadikannya
merasa berkesempatan untuk memanfaatkan segala kemudahan yang diberikan
kepadanya. Begitulah sosok pemimpin kharismatik dan dekat dengan rakyat, Umar
bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul
Aziz ialah khalifah ke-8 Dinasti Umayah yang berpusat di Damaskus. Ia
memerintah selama 3 tahun (717-720 M). Ia dikenal bijaksana, adil dan jujur,
sederhana, alim dan wara, serta tawadhu dan zahid. Ia disebut juga Umar II dan
disejajarkan dengan bin Khattab, khalifah kedua Al-Khulafa Al-Rasyidun.
Nama lengkapnya
adalah Abu Hafs Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Ash bin Umayah bin
Abd Syams. Ayahnya, Abdul Aziz, pernah menjadi gubernur di Mesir selama
beberapa tahun. Ia adalah keturunan Umar bin Khattab melalui ibunya, Laila Ummu
Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab. Pada waktu kecil, ia sering berkunjung
ke rumah paman ibunya, Abdullah bin Umar bin Khattab. Tiap kembali dari sana,
ia sering mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin hidup seperti kakeknya.
Ibunya pun mengiyakan bahwa ia nanti akan hidup seperti kakeknya, seorang ulama
yang wara.
Umar
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Madinah hingga ayahnya wafat pada 85
H/704 M. Kemudian pamannya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, membawanya ke
Damaskus dan mengawinkan dengan putrinya, Fatimah. Umar mengenyam pendidikan di
Madinah yang saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan dan gudang ulama hadis
dan tafsir. Di sana ia mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta bimbingan
yang sehat. Pendidikan yang diperolehnya sangat mempengaruhi kehidupan
pribadinya di kemudian hari dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan padanya.
Pada usia 24
tahun, ia diangkat menjadi gubernur Hijaz dengan kedudukan di Madinah.
Pemerintahan saat itu dipegang oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik atau
Al-Walid I. Saat Al-Walid berencana merenovasi Masjid Nabawi, Umar dipercaya
sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan. Penampilannya
sebagai gubernur berbeda dari gubernur lainnya karena ia sangat adil dalam
memerintah. Langkah pertamanya ketika tiba di Madinah adalah membentuk satu
‘dewan penasihat’ yang beranggotakan para ulama yang berpengaruh di kota itu.
Dalam dewan itu, ia bersama ualama mendiskusikan berbagai masalah penting yang
berkaitan dengan agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu, ia berusaha
mempersatukan pandangan antara umara (pemerintah) dan ulama dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan pemerintah.
Catatan
prestasinya membuat gubernur wilayah lain tidak menyenanginya. Atas aduan
Hajjaj bin Yusuf Al-Saqafi dan para pendukungnya, khalifah memecat Umar dari
jabatan gubernur. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke struktur pemerintahan
pada masa kekhalifahan Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, sebagai katib
(sekretaris). Meskipun
menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, Umar tidak pernah berambisi untuk
menjadi khalifah. Menanggapi kondisi sakit yang diderita oleh Khalifah
Sulaiman, Umar yang menyadari bahwa putra mahkota Ayyub sudah meninggal dunia
dan orang yang paling memungkinkan diangkat menjadi khalifah ialah dirinya, ia
berpesan kepada Wazir (Perdana Menteri) Raja` bin Haiwah:
“Dengan
bersaksi kepada Tuhan, saya meminta kepadamu seandainya khalifah
menyebut-nyebut namaku untuk jabatan itu, hendaklah engkau menghalanginya, dan
kalau ia tidak menyebut-nyebut namaku, janganlah engkau mengingatkan
kepadanya.”
Rupanya, sebelum
didera sakit yang berkelanjutan Khalifah Sulaiman dan Wazir Raja` telah membuat
keputusan bahwa Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pengganti,
sedangkan Yazid bin Abdul Malik ditunjuk menjadi calon khalifah sesudah Umar.
Setelah Khalifah Sulaiman wafat (99 H/717 M), Umar dibaiat menjadi khalifah. Umar bin Abdul
Aziz hanya memerintah kurang lebih dua setengah tahun. Walaupun demikian, waktu
yang relatif singkat itu dapat digunakan secara produktif untuk membuat
kebijaksanaan dalam berbagai bidang. Dalam bidang agama, ia menghidupkan ajaran
Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW guna mengembalikan kemuliaan Islam dalam
berbagai aspeknya. Selain itu, ia menjadikan dua warisan Nabi Muhammad SAW itu,
Alquran dan sunnah Nabi, untuk mewarnai kehidupan bermasyarakat dan berbegara.
Ia meminta para ulama besar pada masa itu seperti Al-Hasan Al-Basri (ahli hadis
dan fikih) dan Sulaiman bin Umar untuk mendidik masyarakat agar mengenal dan
menerapkan hukum syariat Islam sebaik-baiknya serta setia mengikuti perintah
Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Jasa besarnya
dalam bidang agama dan pengetahuan yang dirasakan kemanfaatannya oleh umat
Islam hingga kini adalah inisiatifnya untuk mengkodifikasi (membukukan) hadis.
Ia terdorong atas kekhawatiran bahwa hadis Nabi Muhammad SAW akan lenyap dengan
wafatnya para ulama hadis, dan jika demikian maka besar potensinya hadis-hadis
palsu bermunculan. Saat itu, hadis masih tersimpan dalam hafalan dan catatan pribadi
para sahabat, tabi’in, dan ulama yang meriwayatkan hadis. Langkah taktis yang
diambilnya untuk usaha kodifikasi hadis tersebut adalah dengan memerintahkan
seluruh gubernur dan ulama hadis untuk mencatat hadis. Semua hadis yang
diperoleh dari berbagai negeri ia percayakan kepada ulama besar Imam Muhammad
bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri untuk dihimpun dan ditulis. Umar juga turut
mendiskusikan hadis-hadis yang telah terkumpul untuk diseleksi apakah palsu
atau tidak bersama para alim ulama.
Di bidang sosial
politik, Khalifah Umar menerapkan prinsip politik yang menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan lebih dari segalanya. Meskipun menjadi salah satu
khalifah dari Bani Umayyah, ia bersikap berbeda dengan para pendahulunya. Ia
tidak melakukan tindakan dan kebijakan politik yang represif kepada musuh
politik Bani Umayyah atau kepada rakyat secara umum yang berasal dari bani atau
suku lain. Sebaliknya, ia bersikap lemah lembut kepada seluruh rakyat dari suku
mana pun. Yang ia hormati dan ia junjung tinggi adalah kejujuran dan kebenaran,
bukan reputasi suku atau nama besar kelompok. Bagi Umar, Bani Umayyah tidak
mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan saudaranya sesama Muslim. Umar
sangat menyadari bahwa:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Ia
memberi pengajaran kepadamu agar dapat kamu ambil sebagai pelajaran” (QS.
Al-Nahl: 90).
Untuk
menyelesaikan perselisihan, Umar sangat menekankan bahwa para hakim harus
mendasarkan keputusannya pada Alquran, sunnah Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama,
dan ijtihad. Umar sangat keras menentang praktik pengadilan yang diputuskan
berdasarkan subjektivitas hakim atau kepentingan pihak-pihak tertentu. Ia
selalu mengupayakan agar jalan kecurangan, percobaan suap menyuap, perilaku
korupsi, dan berbagai tindak ketidakjujuran lainnya tidak menemukan celah
sedikit pun selama ia menjadi khalifah. Dalam bidang
ekonomi, Umar membuat berbagai kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat dan
meningkatkan kemakmuran mereka. Ia membuat aturan yang lebih adil mengenai
sistem takaran atau timbangan, melenyapkan cara kerja paksa, membangun sistem
pertanian terpadu, menggali sumur-sumur, membuat saluran irigasi, membangun
jalan, menyediakan penginapan bagi musafir, menyantuni fakir miskin, dan
berbagai pembangunan dan kebijakan lainnya.
Demikian
hebatnya kebijaksanaan dan kematangan jiwa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Apa yang dipikirkannya adalah apa yang bisa ia berikan kepada negaranya, bukan
apa yang bisa diberikan negara kepadanya. Kesalehannya membuatnya dekat dengan
dan dicintai oleh rakyat, meskipun masa pemerintahannya hanya singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar