Laman

Selasa, 11 Februari 2014

Islam Yang Berwawasan Luas




Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*



Jaringan ulama pada dasarnya memiliki akar kuat dalam tradisi keilmuan Islam, yang  sering di sebut rihlah ilmiyyah (perjalanan keimuan) atau perjalanan untuk menuntut  ilmu. Ini Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan para penganutnya untuk menuntut ilmu ke bagian dunia mana pun.  Selain itu, tradisi rihlah ilmiyyah secara historis bermula dari perjalanan keilmuan yang dilakukan para sahabat sepeninggal Nabi untuk mengumpulkan dan merekam hadis. Dalam perkembangan lebih lanjut, perjalanan  keilmuan tersebut bukan hanya menghasilkan kumpulan hadist nabi saw, tetapi juga mendorong terbentuk nya semacam "jaringan" sahabat nabi yang terlibat dalam usaha merekam, menghafal, dan mencatatkan hadits. Ketika hadits telah terkumpul dan dibuktikan dalam kumpulan hadits yang otoritatif, rihlah ilmiyyah tidak lagi terjadi dalam konteks pengumpulan hadits, tetapi juga dalam upaya menuntut ilmu dan mengembangkan Islam secara keseluruhan.

Dari penjelasan tersebut di atas dapat di tarik sebuah kesimpulan tentang proses penelitian itu sudah ada sejak para sahabat bahkan nabi sendiri menyampaikan dalam sabdanya untuk menuntuk ilmu ke negeri Cina. Hal ini perlu ditelusuri lebih jauh tentang pemahaman filosofis yang di sampaikan oleh baginda nabi ini, artinya jika hanya ingin ilmu agama cukuplah di samping nabi dan menanyakan segala macam bentuk persoalan wahyu dan hukum yang di terimanya. Tapi kehidupan itu cukup luas dan ternyata tidak cukup hanya di dapatkan dari satu guru, tapi untuk memperluas wawasan berpikir harus mempelajari berbagai hal untuk bisa di kembangkan sesuai dengan cita Islam itu sendiri. Dalam al Quran bahwa surat yang pertama di turunkan juga adalah tentang membaca, membaca yang tidak hanya sebatas kata dan kalimat, tapi bagaimana mampu menganalisis segala ciptaan, kejadian, dan fenomena alam ini bila di kaitkan dengan ilmu modern, hukum Islam berinteraksi dengan maslahat dan dunia kontemporer. 

Dari Prof. Amin Abdullah guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekaligus menjadi pelopor integrasi dan interkoneksi ilmu, mengatakan bahwa kehidupan agama dan hukum dalam dunia Islam harus berjalan sesuai dengan perkembangan dunia ilmiah yang dapat di nalar, dapat di mengerti dan melalaui pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya, karena jika tidak mengurai kedalaman ilmu Islam melalui bahasan psikologi, politik, ekonomi, dan budaya tentu hal ini akan membuat hjukum terasa kaku, karena dengan melihat perkembangan budaya manusia, kita akan lebih mengerti tentang sebab dan turun ayat maupun hadits serta hukum tersebut tujuannya untuk apa, karena tidak ada hukum yang lahir dalam ruang hampa.

Permasalahan serius yang harus dikaji adalah bagaimana pohon ilmu ini mampu memberikan sumbangsih dalam pengkajian Islam. Suatu ketika muslim Rusia merasa icon muslim yang tepat untuk di jadikan referensi adalah Indonesia, hal ini seperti ungkapan mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Rusia, hal ini tiada lain, karena menurut petinggi kajian Islam di wilayah tersebut Indonesia mampu memberikan tempat bagi budaya lokal, memberikan corak tersendiri bagi wajah Islam dengan menghargai tentang perkembangan ilmu dan perbedaan bahkan di bingkai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sikap kritis dan rasa ingin tahu manusia saat terkait dengan hidayah Islam di beberapa wilayah di Eropa dan Amerika tentu nya tidak dengan serta merta memberikan hukum yang baku dan tidak bisa di dialogkan, dapat di ketahui bahwa perkembangan umat Islam di beberapa wilayah di Eropa merupakan penalaran yang mereka terima melalui akal di dorong dengan hidayah dari Ilahi.

Proses pencarian kebenaran dalam diri manusia itu ada tiga hal yaitu melalui Wahyu, Akal dan Instuisi, ketiga hal ini merupakan anugerah Allah SWT yang hanya di terima oleh manusia, sedangkan binatang hanya bisa merasakan insting atau instuisi sehingga ia merasa dingin, lapar, bernaung, sakit dan tahu bagaimana mengelakkan diri dari predator. Hal tersebut hanya kebenaran yang terjadi karena di ulang-ulang dan kemampuan yang tidak perlu di asah melalui logika dan uji coba wahyu. Sementara untuk akal dan wahyu merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia untuk berpikir yang tidak sebatas dunia menghakimi  benar salahnya, tapi adalah penalaran yang membuat diri sampai kepada Allah SWT, dimana ketika rasa dan ketidak berdayaan manusia untuk berbuat sesuatu hal maka disitulah salah satu hadir letak kuasnya Allah SWT sebagai sang khalik yang mampu atas segalanya.

Jika akal, atau pemikiran ini dipergunakan dengan cara mencari jalan kebenaran, mencoba merumuskan tentang hukum agama agar sesuai dengan pengembangan dan kemaslahatan manusia tentunya akan menjadi sesuatu hal yang berharga, bahwa keberIslaman hadir tidak hanya sebatas sejarah tapi telah mampu berbicara atas ruang lingkup sosial sekitarnya, Islam yang hadir berwawasan luas yang mengerti politik, diplomasi, ekonomi dan budaya. Islam yang berwawasan luas ini akan dengan mudah berinteraksi dengan berbagai lapisan, berpikir positif, cerdas dan menerima perubahan. Itulah sejatinya Islam yang sholih likulli zaman, atau yang bisa menyesuaikan segala perkembangan zaman. Saat ini perkembangan pendidikan Islam salah satu jalan menuju perubahan dalam meretas kebekuan ijtihad, dan kurikulum pendidikan nasional sudah menyatu dengan pendidikan umum, sama halnya di beberapa negara di Eropa bahwa Islamic Boarding School menjadi pilihan untuk memahami Islam yang luas, yang terbuka, demokratis dan memiliki cakupan integrasi interkoneksi keilmuan bagi peradaban manusia.



*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta     
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar