Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Jaringan ulama pada dasarnya
memiliki akar kuat dalam tradisi keilmuan Islam, yang sering di sebut rihlah ilmiyyah (perjalanan keimuan) atau
perjalanan untuk menuntut ilmu. Ini Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan para penganutnya untuk menuntut ilmu ke bagian dunia mana pun. Selain itu, tradisi rihlah ilmiyyah secara historis bermula dari perjalanan keilmuan yang dilakukan para sahabat sepeninggal Nabi untuk mengumpulkan dan merekam hadis. Dalam
perkembangan lebih lanjut, perjalanan keilmuan tersebut bukan hanya menghasilkan kumpulan hadist nabi saw, tetapi
juga mendorong terbentuk nya semacam "jaringan" sahabat nabi yang terlibat dalam usaha merekam, menghafal, dan mencatatkan hadits. Ketika hadits
telah terkumpul dan dibuktikan dalam kumpulan hadits yang otoritatif, rihlah ilmiyyah tidak lagi terjadi dalam
konteks pengumpulan hadits, tetapi juga dalam
upaya menuntut ilmu dan mengembangkan Islam secara keseluruhan.
Dari penjelasan
tersebut di atas dapat di tarik sebuah kesimpulan tentang proses penelitian itu
sudah ada sejak para sahabat bahkan nabi sendiri menyampaikan dalam sabdanya
untuk menuntuk ilmu ke negeri Cina. Hal ini perlu ditelusuri lebih jauh tentang
pemahaman filosofis yang di sampaikan oleh baginda nabi ini, artinya jika hanya
ingin ilmu agama cukuplah di samping nabi dan menanyakan segala macam bentuk
persoalan wahyu dan hukum yang di terimanya. Tapi kehidupan itu cukup luas dan
ternyata tidak cukup hanya di dapatkan dari satu guru, tapi untuk memperluas
wawasan berpikir harus mempelajari berbagai hal untuk bisa di kembangkan sesuai
dengan cita Islam itu sendiri. Dalam al Quran bahwa surat yang pertama di
turunkan juga adalah tentang membaca, membaca yang tidak hanya sebatas kata dan
kalimat, tapi bagaimana mampu menganalisis segala ciptaan, kejadian, dan
fenomena alam ini bila di kaitkan dengan ilmu modern, hukum Islam berinteraksi
dengan maslahat dan dunia kontemporer.
Dari Prof. Amin
Abdullah guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang
sekaligus menjadi pelopor integrasi dan interkoneksi ilmu, mengatakan bahwa
kehidupan agama dan hukum dalam dunia Islam harus berjalan sesuai dengan
perkembangan dunia ilmiah yang dapat di nalar, dapat di mengerti dan melalaui
pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya, karena jika tidak mengurai kedalaman ilmu Islam
melalui bahasan psikologi, politik, ekonomi, dan budaya tentu hal ini akan
membuat hjukum terasa kaku, karena dengan melihat perkembangan budaya manusia,
kita akan lebih mengerti tentang sebab dan turun ayat maupun hadits serta hukum
tersebut tujuannya untuk apa, karena tidak ada hukum yang lahir dalam ruang hampa.
Permasalahan serius
yang harus dikaji adalah bagaimana pohon ilmu ini mampu memberikan sumbangsih
dalam pengkajian Islam. Suatu ketika muslim Rusia merasa icon muslim yang tepat
untuk di jadikan referensi adalah Indonesia, hal ini seperti ungkapan mantan
Duta Besar Republik Indonesia untuk Rusia, hal ini tiada lain, karena menurut
petinggi kajian Islam di wilayah tersebut Indonesia mampu memberikan tempat
bagi budaya lokal, memberikan corak tersendiri bagi wajah Islam dengan
menghargai tentang perkembangan ilmu dan perbedaan bahkan di bingkai dengan
Pancasila dan UUD 1945. Sikap kritis dan rasa ingin tahu manusia saat terkait
dengan hidayah Islam di beberapa wilayah di Eropa dan Amerika tentu nya tidak
dengan serta merta memberikan hukum yang baku dan tidak bisa di dialogkan,
dapat di ketahui bahwa perkembangan umat Islam di beberapa wilayah di Eropa
merupakan penalaran yang mereka terima melalui akal di dorong dengan hidayah
dari Ilahi.
Proses pencarian
kebenaran dalam diri manusia itu ada tiga hal yaitu melalui Wahyu, Akal dan
Instuisi, ketiga hal ini merupakan anugerah Allah SWT yang hanya di terima oleh
manusia, sedangkan binatang hanya bisa merasakan insting atau instuisi sehingga
ia merasa dingin, lapar, bernaung, sakit dan tahu bagaimana mengelakkan diri
dari predator. Hal tersebut hanya kebenaran yang terjadi karena di ulang-ulang
dan kemampuan yang tidak perlu di asah melalui logika dan uji coba wahyu. Sementara
untuk akal dan wahyu merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia untuk berpikir
yang tidak sebatas dunia menghakimi benar salahnya, tapi adalah penalaran yang
membuat diri sampai kepada Allah SWT, dimana ketika rasa dan ketidak berdayaan
manusia untuk berbuat sesuatu hal maka disitulah salah satu hadir letak kuasnya
Allah SWT sebagai sang khalik yang mampu atas segalanya.
Jika akal, atau
pemikiran ini dipergunakan dengan cara mencari jalan kebenaran, mencoba
merumuskan tentang hukum agama agar sesuai dengan pengembangan dan kemaslahatan
manusia tentunya akan menjadi sesuatu hal yang berharga, bahwa keberIslaman
hadir tidak hanya sebatas sejarah tapi telah mampu berbicara atas ruang lingkup
sosial sekitarnya, Islam yang hadir berwawasan luas yang mengerti politik,
diplomasi, ekonomi dan budaya. Islam yang berwawasan luas ini akan dengan mudah
berinteraksi dengan berbagai lapisan, berpikir positif, cerdas dan menerima
perubahan. Itulah sejatinya Islam yang sholih
likulli zaman, atau yang bisa menyesuaikan segala perkembangan zaman. Saat ini
perkembangan pendidikan Islam salah satu jalan menuju perubahan dalam meretas
kebekuan ijtihad, dan kurikulum pendidikan nasional sudah menyatu dengan
pendidikan umum, sama halnya di beberapa negara di Eropa bahwa Islamic Boarding School menjadi pilihan
untuk memahami Islam yang luas, yang terbuka, demokratis dan memiliki cakupan
integrasi interkoneksi keilmuan bagi peradaban manusia.
*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar