Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Semua makhluk
yang ada di muka bumi ini dibagi menjadi dua kelompok; makhluk bernyawa dan
makhluk tidak bernyawa. Makhluk tidak bernyawa seperti air, api, batu, dan
tanah, tidak memainkan peran apapun dalam membangun dan mengembangkan dirinya.
Mereka mewujud dan tumbuh semata-mata di bawah pengaruh faktor-faktor
eksternal. Mereka tidak melibatkan diri dalam kegiatan apapun untuk tujuan
mengembangkan eksistensi mereka. Sebaliknya makhluk-makhluk hidup seperti
tumbuhan, hewan dan manusia senantiasa melakukan upaya-upaya tertentu untuk
mempertahankan diri dari aneka kesulitan memperoleh makanan dan berkembang
biak.
Dalam al Quran,
manusia berulang-ulang kali diangkat derajat nya, berulang-ulang kali pula
direndahkan, mereka dinobatkan jauh mengungguli para malaikat, tetapi pada saat
yang sama mereka bisa tidak lebih berarti dibandingkan dengan binatang sekalipun.
Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga
mereka merosot menjadi yang paling rendah dari segala yang rendah. Oleh karena
itu manusia sendiri yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir
mereka. Karena sesungguhnya seperti ungkapan guru besar Univesitas Islam Gunung
Jati Bandung, Dr. Daud Rasyid mengatakan hidup ini ibarat sebuah perjalanan menuju
sebuah tempat dimana ketika tiba saatnya di persimpangan, bisa membuat kita
bingung antara memilih jalur yang mana. Apakah antara timur, barat, utara dan
selatan, kemanakah kaki melangkah ? untungnya ada sebuah petunjuk dari rambu
lalu lintas dan dinas perhubungan yang terpampang dengan jelas di pinggiran
jalan. Ketika kita bermaksud menuju Jakarta dari Yogyakarta maka
janganlah berjalan dari simpang jalan yang mengarahkan anda ke Surabaya, hasilnya
tujuan tidak akan tercapai, karena ketika anda salah jalan sementara rambu
sudah jelas maka anda tidak akan dapat menyalahkan pemerintah, polisi lalu lalu
lintas. Dan siapapun makhluk yang, karena
itu murni sesungguhnya kesalahan yang yang harus di tanggung resiko nya. Begitulah
kiranya kehidupan dunia ini yang akan menghantarkan menuju istana terang
kemilau sang maha raja cahaya untuk menjumpai Tuhan-Nya. Sudah jelas
undang-undang dan petunjuk dari-Nya. Ketika jalan yang di tempuh adalah salah maka
tidak ada hak untuk menggugat Tuhan karena dia sudah memberikan sesuatu yang berharga
berupa kode etik atau tanda dalam permainan yang bernama dunia ini. Maka
janganlah sampai kalah dalam sebuah kesempatan yang ada. Pelajarilah dengan baik
dan bijak sebuah kitab kebahagiaan itu yaitu al Quran al Karim.
Seorang filosof
muslim yang masyhur namanya di belahan dunia seperti Ibn Sina (Avicenna) pernah
menyampaikan bahwa Jiwa manusia ini terbagi tiga yaitu jiwa, nabati, hayawani
dan nafsani, kecenderungan ketiga jiwa ini jelas sangat berbeda yang
menggambarkan inilah dia realitas kehidupan manusia hari ini.
Jiwa pertama adalah jiwa
nabati. Dimaksudkan kondisi manusia seperti hal nya tumbuhan yang
tidak mempunyai pergerakan dan tidak ambil pusing dengan tumbuhan di sekitar nya,
hidup, tumbuh, berkembang dan mati, inilah kondisi manusia yang tidak mempunyai
nurani terhadap sekitarnya, hal ini sangat banyak kita jumpai di kota
metropolitan seperti hal nya rumah gedongan perumahan yang satu sama lain tidak
butuh tegur sapa, semua sibuk dengan aktivitas masing-masing, hidup dan mati nya
hanya untuk individual dan komunitasnya saja. Tidak melahirkan kesalehan sosial
sehingga kehidupan nya seolah tanpa makna dan manfaat bagi manusia lainnya.
Begitu juga seorang yang alim misalnya kalau dia itu beribadah di sebuah hutan
yang tidak dihuni oleh makhluk yang bernama manusia selain dirinya, dia pergi
meninggalkan kaumnya dan kerabatnya karena tidak mau disibukkan dengan yang
namanya syiar dan tabligh. Bahkan seorang nabi pun ketika lari dari kaum nya
itu maka langsung akan ditegur oleh Tuhan-Nya, maka menarik sesungguhnya apa
yang disampaikan oleh Habiburrahman el Shirazy bahwa seorang abid yang hidup
disebuah gunung bukan berarti lebih baik dengan seorang alim yang hidup di
metropolitan karena memang objek dakwah itu jelas di hadapan dan kita tidak
akan menjadi manusia egois yang mementingkan diri secara pribadi untuk
bermesraan dengan sesuatu obyek yang bernama Tuhan. Hal yang tidak baik
kemudian adalah mencari Allah SWT, bergegas ingin ke surga tapi menimbulkan car
fitnah dan kekerasan di dalam dunia-Nya Allah SWT.
Jiwa kedua adalah jiwa
hayawani, jikalau kecenderungan yang nabati lebih banyak mengurusi internal
tanpa berusaha untuk melihat sekitarnya. Dalam jiwa hayawani ini justeru sebagai
pemain, seorang yang aktif bergerak dan berbuat tapi kerap membuat kerusakan,
kerusuhan dan ketidak nyamanan, tidak ada hal menjadi penghalang baginya sepanjang
semuanya itu mempunyai nilai kesenangan dan untung kepada diri, sehingga hitam
bisa jadi putih dan putih berubah hitam, halal di haramkan sementara haram
dihalalkan. Penghalang hanya lah ruang-ruang kekuasaan dan itu pun kalau masih
memungkinkan celah untuk memasukinya masih dilakukan juga. menggelapkan uang
negara, tidak peduli itu milik siapa yang penting adalah untung dan kesenangan.
Lihatlah segerombolan kera yang ingin memetik buah pisang atau tupai yang
menginginkan kelapa tidak pernah permisi untuk izin sama sekali kepada
pemiliknya, dan metode ini ternyata menginspirasi orang yang lebih parah dan
hina dari pada kera dan tupai. Pantaslah Allah SWT dalam sebuah maklumatnya
menyampaikan bahwa Dia sang maha agung bisa saja mensejajarkan manusia dengan
binatang bahkan yang lebih hina dari pada itu.
Untuk
membangkitkan kesadaran dan lamunan serta sikap ketidak wajaran ini maka Allah SWT dalam Al Quran banyak mencela manusia untuk
kemudian lebih memanusiakan dirinya dan bisa memanfaatkan waktu yang ada.
“Manusia
sangat benar-benar mengingkari nikmat". [QS. 22:66]
"Ketahuilah
sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup". (QS. 96:6-7)
"Adalah
manusia bersifat tergesa-gesa". (QS. 17:16)
"Apabila
manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring atau
berdiri tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali)
melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada kami
untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpa nya". [QS. 10:12]
Jiwa ketiga,
adalah jiwa insani, berbeda dengan jiwa pertama dan kedua, mempunyai karakter
yang lebih mulia, dengan suara hati yang fithrah ia berusaha untuk mengenal
dirinya demi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya, menginfakkan hidup untuk
kemaslahatan umat tidak ada istilah itu kan mereka bukan saya, sadar akan
hakikat penciptaan dirinya sebagai pengelola (khalifah fi al ardh) dan untuk
beribadah kepada sang pencipta maka ia membangun sebuah garis yang jelas dan
menuntun orang di sekitarnya untuk bersama berjalan menuju Tuhan pencipta
langit dan bumi. Inilah kesalehan sosial yang mengajak, menyeru dan
memanusiakan manusia, bahkan dari sini akan lahir generasi-generasi yang
berpikir untuk kemaslahatan umat, negeri dan bangsanya. Blue print darinya
adalah makhluk yang dinamis, kreatif, inovatif dan responsitif dengan metode Islamisasi
ilmu pengetahuan dan modernitas. Seorang ulama kenamaan Persia menyampaikan
dalam sebuah gubahan syair.
Anak-anak Adam
laksana anggota tubuh, Sebab mereka tercipta dari lempung yang sama. Jika satu bagian
terlanda lara, Yang lain menderita resah hebat, Engkau yang ingkar derita
manusia, Tak pantas bernama manusia.
Di balik itu semua tidak dapat di pungkiri bahwa media sangat berperan
penting
dalam menjembatani dan memberikan kesan bagi pendengar dan yang membaca,
melihatnya. Media Islam harus mampu menjadi wawasan yang dinamis, maju,
sejahtera dan tanpa memberikan propaganda untuk umat Islam. Pembahasaan
yang
netral justru jauh lebih baik dri pada memberikan penghakiman terhadap
umat
lainnya, jika hal itu terjadi, maka sama halnya yang menciptakan
permusuhan itu
tiada lain adalah kita sendiri. Sebagai oase, pengetahuan, informasi dan
sosial
kontrol tetap di jalankan khususnya bagi media-media Islam, yaitu dengan
mengangkat sikap optimis dan membuka wawasan dari kaca mata positif
serta
bagaimana mendialogkan nya dengan instansi-instansi terkait yang duduk
mengetahui perkara dan bertanggung jawab atas umat hingga bangsa ini
menjadi bangsa yang besar, bersatu. Dengan menunjukkan nilai Islam yang rahmatan
lil alamin. berlaku bauat siapa saja.
*Penulis Adalah
Institute for Multiculuralism and Pluralism Studies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar