Oleh : Rahmat Kurnia Lubis
Seperti kutipan dari apa yang di sampaikan oleh
Zuhari Misrawi dalam buku biografi pemikiran yang sangat terkenal, al-Fihrist,
karya Ibn al-Nadim, menyebutkan bahwa Imam Syafii sangat mencintai Syiah
(syadid al-tasyayyu’). sikap toleran dan terbuka tersebut tidak hanya
ditunjukkan oleh Imam Syafii, tetapi para ulama Sunni lainnya, seperti Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik. Di dalam sejarah hukum Islam disebutkan, bahwa Imam
Zayd bin Ali, pendiri Syiah Zaydiyah belajar dari Imam Abu Hanifah. Sedangkan
Imam Abu Hanifah belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq, pemuka Syiah
Isyna’asyriyah. Jadi, jelas sekali bahwa ulama Sunni-Syiah di masa lalu
mempunyai hubungan yang akrab di antara mereka. Mereka tidak hanya saling
menghormati dan menghargai perbedaan, tetapi lebih dari itu saling belajar dan
menimba ilmu pengetahuan di antara mereka. Mereka betul-betul memahami ungkapan
Imam Ali yang sangat populer, “Kebenaran itu laksana harta karun mukmin yang
berserakan di mana-mana, maka di manapun Anda menemukannya kebenaran itu milik
Anda.” Ujar aktivis muda Nahdlatul ulama ini.
Nuansa perseteruan lebih kental dari pada
mengedepankan etika dan proses pencarian nilai kebenaran itu sendiri. Hal ini
salah satu yang kemudian menggejala di kalangan umat muslim. Tidak heran
kemudian saling menyalahkan dan aski kekerasan muncul menjadi sebuah pembenaran
untuk membela agama sang Tuhan, Allah SWT tidak perlu di bela karena ia telah
kuasa atas dirinya sendiri, yang perlu di lakukan adalah bagaimana mewujudkan
kehidupan beragama yang bebas, mengekspresikan wujud setiap ajaran tanpa harus
ada pengekangan dan pemaksaan kehendak. Allah SWT menyampaikan dengan tegas yaitu
katakanlah bagi orang kafir bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Ini artinya
sepanjang tidak ada yang bertentangan dan hidup rukun dalam perbedaan maka
inilah yang seharusnya di jalankan. Karena tidak ada pemaksaan, begitupun perlu
di pahami setiap pemaksaan kehendak merupakan kejahatan bagi umat manusia. Kehidupan
manusia ini adalah kehidupan yang sadar, ada wahyu, ada etika dan undang-undang,
hal tersebut tentunya menjadi landasan hukum, berpikir untuk setiap warga
negara untuk menjalankan aktifitasnya.
Dengan pengayoman agama yang baik, mengerti
tentang ajaran Islam yang menghargai perbedaan, maka tidak saja kita
membuktikan keseriusan berupa taat kepada Allah sebagai pembela agama Allah SWT
tapi kita juga sudah memanusiakan manusia, dan menghargai pemikiran, akal dan sunatullah
kehidupan manusia. Dalam hal kajian Islam ada banyak pendapat di kalangan para ulama,
muhaddits, mufassir, filosof, dan teolog yang mempunyai corak dan pemikiran
tersendiri. Bahkan Imam Syafii dalam hal kasus yang sama bisa mempunyai
pendapat yang berbeda, yaitu pemikiran ketika di Baghdad dan di Mesir sehingga
hal ini terkenal dengan sebutan qaul qadim dan qaul jadid, ini merupakan
dinamika pemikiran yang tidak pernah mati, bahwa kebenaran itu harus di terima,
pertimbangan waktu dan nash juga merupakan hal yang utama dalam
mengekslorasikan wahyu yang humanis dan rasional untuk kehidupan manusia. Seperti
apa yang di alami oleh Imam Syafii tersebut di atas yang di sampaikan oleh Zuhairi
dalam kitab al-Fihrist menunjukkan sikap toleransi, saling bekerja sama dalam
menemukan rumusan kaedah yang tepat merupakan suatu kebijaksanaan dalam Islam.
Untuk konteks ke Indonesiaan menarik apa yang di
sampaikan oleh Habib Luthfi Pekalongan sebagai Rais Am Jam’iyyah Ahlith
ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah 2005-2010 (periode kedua), untuk
menemukan formula yang tepat dalam mewujudkan keberIslaman, keamanan dan persatuan
beliau berpendapat bahwa dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita
kembali saja ke poko pertama sila pancasila tersebut, tidak perlu mencari
sumusan baru, kemudian diwarnai oleh agama masing-masing. Kembali menurut
beliau, ia menginginkan penganut agama, agama apa pun, menaati ajaran agama
untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga bisa ikut membangun bangsa ini.
Sebab, kita sama sekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, tidak berperan ikut
berjuang zaman dulu. Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya
membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab
tantangan umat. Tentang adanya kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam
wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang
tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim. Beliau memberikan
sebuah pernyataan negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas berbagai
agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Tidak semudah itu membungkus
sesuatu. Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang
menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan
agama masing-masing. Mari membangun bangsa ini ke depan. Syariat Islam sudah
banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. seperti contoh berdiri nya
kantor urusan agama, pengadilan agama, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi
Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Inilah
yang harus di pelihara tanpa harus membenturkan antara sesuatu hal yang aman,
nyaman, damai kepada hal yang sifatnya perpecahan dan menyulut kekerasan.
Nabi Muhammad saw sebagai panutan, dan para sahabat
nya memberikan perlindungan kepada setiap warga dan pemeluk keyakinan apapun
yang hidup di masa itu, jika rasulullah, dan sahabat berlaku adil terhadap
semua makhluk, maka harus nya kita malu untuk berbuat suatu hal yang jauh dari
akhlak nabi saw ini, konon apalagi kita mengaku sebagai pejuang Islam dan
peduli agama yang di wahyukan Allah SWT. Meminjam istilah yang di sampaikan
oleh Abdurrahman Wahid bahwa mewujdukan Islam ramah dan bukan marah itu
sederhana yaitu ketika perbedaan itu di bingkai dengan persatuan, saling
mengisi, dan dialog yang lebih santun, karena bisa jadi apa yang menurut kita
baik, belum tentu hal tersebut baik di mata Allah SWT. Tidak ada yang tahu dengan
pasti tentang siapa sesungguhnya kekasihnya yang berjuang untuk agama Islam ini,
apakah ia lahir dari ilmuwan, dermawan, mujahid, atau para alim, tapi yang
jelas Allah SWT mencintai hambanya yang bersyukur, bersabar dan saling
menasehati dalam hal kebaikan, dengan dakwah yang santun dan bijaksana.
*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar