Laman

Senin, 10 Februari 2014

Rukun Dalam Perbedaan Madzhab



Oleh : Rahmat Kurnia Lubis

Seperti kutipan dari apa yang di sampaikan oleh Zuhari Misrawi dalam buku biografi pemikiran yang sangat terkenal, al-Fihrist, karya Ibn al-Nadim, menyebutkan bahwa Imam Syafii sangat mencintai Syiah (syadid al-tasyayyu’). sikap toleran dan terbuka tersebut tidak hanya ditunjukkan oleh Imam Syafii, tetapi para ulama Sunni lainnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Di dalam sejarah hukum Islam disebutkan, bahwa Imam Zayd bin Ali, pendiri Syiah Zaydiyah belajar dari Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Abu Hanifah belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq, pemuka Syiah Isyna’asyriyah. Jadi, jelas sekali bahwa ulama Sunni-Syiah di masa lalu mempunyai hubungan yang akrab di antara mereka. Mereka tidak hanya saling menghormati dan menghargai perbedaan, tetapi lebih dari itu saling belajar dan menimba ilmu pengetahuan di antara mereka. Mereka betul-betul memahami ungkapan Imam Ali yang sangat populer, “Kebenaran itu laksana harta karun mukmin yang berserakan di mana-mana, maka di manapun Anda menemukannya kebenaran itu milik Anda.” Ujar aktivis muda Nahdlatul ulama ini.

Nuansa perseteruan lebih kental dari pada mengedepankan etika dan proses pencarian nilai kebenaran itu sendiri. Hal ini salah satu yang kemudian menggejala di kalangan umat muslim. Tidak heran kemudian saling menyalahkan dan aski kekerasan muncul menjadi sebuah pembenaran untuk membela agama sang Tuhan, Allah SWT tidak perlu di bela karena ia telah kuasa atas dirinya sendiri, yang perlu di lakukan adalah bagaimana mewujudkan kehidupan beragama yang bebas, mengekspresikan wujud setiap ajaran tanpa harus ada pengekangan dan pemaksaan kehendak. Allah SWT menyampaikan dengan tegas yaitu katakanlah bagi orang kafir bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Ini artinya sepanjang tidak ada yang bertentangan dan hidup rukun dalam perbedaan maka inilah yang seharusnya di jalankan. Karena tidak ada pemaksaan, begitupun perlu di pahami setiap pemaksaan kehendak merupakan kejahatan bagi umat manusia. Kehidupan manusia ini adalah kehidupan yang sadar, ada wahyu, ada etika dan undang-undang, hal tersebut tentunya menjadi landasan hukum, berpikir untuk setiap warga negara untuk menjalankan aktifitasnya.

Dengan pengayoman agama yang baik, mengerti tentang ajaran Islam yang menghargai perbedaan, maka tidak saja kita membuktikan keseriusan berupa taat kepada Allah sebagai pembela agama Allah SWT tapi kita juga sudah memanusiakan manusia, dan menghargai pemikiran, akal dan sunatullah kehidupan manusia. Dalam hal kajian Islam ada banyak pendapat di kalangan para ulama, muhaddits, mufassir, filosof, dan teolog yang mempunyai corak dan pemikiran tersendiri. Bahkan Imam Syafii dalam hal kasus yang sama bisa mempunyai pendapat yang berbeda, yaitu pemikiran ketika di Baghdad dan di Mesir sehingga hal ini terkenal dengan sebutan qaul qadim dan qaul jadid, ini merupakan dinamika pemikiran yang tidak pernah mati, bahwa kebenaran itu harus di terima, pertimbangan waktu dan nash juga merupakan hal yang utama dalam mengekslorasikan wahyu yang humanis dan rasional untuk kehidupan manusia. Seperti apa yang di alami oleh Imam Syafii tersebut di atas yang di sampaikan oleh Zuhairi dalam kitab al-Fihrist menunjukkan sikap toleransi, saling bekerja sama dalam menemukan rumusan kaedah yang tepat merupakan suatu kebijaksanaan dalam Islam.  

Untuk konteks ke Indonesiaan menarik apa yang di sampaikan oleh Habib Luthfi Pekalongan sebagai Rais Am Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah 2005-2010 (periode kedua), untuk menemukan formula yang tepat dalam mewujudkan keberIslaman, keamanan dan persatuan beliau berpendapat bahwa dasar pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita kembali saja ke poko pertama sila pancasila tersebut, tidak perlu mencari sumusan baru, kemudian diwarnai oleh agama masing-masing. Kembali menurut beliau, ia menginginkan penganut agama, agama apa pun, menaati ajaran agama untuk bekal kehidupan sehari-hari, sehingga bisa ikut membangun bangsa ini. Sebab, kita sama sekali tidak ikut andil mendirikan bangsa ini, tidak berperan ikut berjuang zaman dulu. Kita hanya bisa andil menjaga kemerdekaan ini. Caranya membekali mental kita dengan agama yang baik, sehingga kita bisa menjawab tantangan umat. Tentang adanya kalangan Islam yang berpendapat syariah Islam wajib diakomodasi karena selama ini kita justru memakai hukum Belanda yang tidak mewadahi aspirasi penduduk yang mayoritas muslim. Beliau memberikan sebuah pernyataan negara Indonesia merupakan  negara kesatuan yang terdiri atas berbagai agama, kepercayaan, dan suku. Sangat heterogen. Tidak semudah itu membungkus sesuatu. Kita sudah mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama. Itu saja yang kita amalkan dengan didukung keyakinan agama masing-masing. Mari membangun bangsa ini ke depan. Syariat Islam sudah banyak dijalankan dalam undang-undang pemerintah kita. seperti contoh berdiri nya kantor urusan agama, pengadilan agama, pernikahan dilindungi, Maulid Nabi Muhammad juga diperingati. Semuanya itu tidak bertentangan dengan Islam. Inilah yang harus di pelihara tanpa harus membenturkan antara sesuatu hal yang aman, nyaman, damai kepada hal yang sifatnya perpecahan dan menyulut kekerasan.

Nabi Muhammad saw sebagai panutan, dan para sahabat nya memberikan perlindungan kepada setiap warga dan pemeluk keyakinan apapun yang hidup di masa itu, jika rasulullah, dan sahabat berlaku adil terhadap semua makhluk, maka harus nya kita malu untuk berbuat suatu hal yang jauh dari akhlak nabi saw ini, konon apalagi kita mengaku sebagai pejuang Islam dan peduli agama yang di wahyukan Allah SWT. Meminjam istilah yang di sampaikan oleh Abdurrahman Wahid bahwa mewujdukan Islam ramah dan bukan marah itu sederhana yaitu ketika perbedaan itu di bingkai dengan persatuan, saling mengisi, dan dialog yang lebih santun, karena bisa jadi apa yang menurut kita baik, belum tentu hal tersebut baik di mata Allah SWT. Tidak ada yang tahu dengan pasti tentang siapa sesungguhnya kekasihnya yang berjuang untuk agama Islam ini, apakah ia lahir dari ilmuwan, dermawan, mujahid, atau para alim, tapi yang jelas Allah SWT mencintai hambanya yang bersyukur, bersabar dan saling menasehati dalam hal kebaikan, dengan dakwah yang santun dan bijaksana.

*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar