Oleh : Rahmat Kurnia
Lubis*
Bisa di pastikan bahwa
dalam diri seorang pemimpin yang baik, yang takut kepada Tuhan-Nya akan lebih
hati-hati terhadap perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak, baik dari
tanggung jawab kesejahteraan seperti makan, tempat tinggal, kenyamanan, dan
jalanan untuk sekedar bepergian. Hal tersebut semuanya merupakan tanggung jawab
pemimpin kepada yang dipimpin begitu juga tanggung jawab tersebut tidak hanya
sebatas manusia tapi suatu saat nanti ketika dunia ini telh tiada, Allah sudah
mengumpulkan manusia menanyakan tentang usia dan amanah, dikemanakan, untuk
apa, dengan siapa, berbuat apa, jika dalam pengadilan Allah SWT keadilan itu
tidak terpenuhi maka inilah nanti yang akan menjadi penghalang mendapatkan
rahmat Allah SWT.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Khattab, Beliau mengangkat seorang gubernur di Mesir bernama “Amru
bin Ash”. Suatu hari, gubernur ini melakukan pengenalan medan di
wilayahnya. Beliau mengelilingi wilayah kekuasaannya sambil silaturahim dengan
segenap rakyatnya.’Dalam melakukan survey, pak Gubernur banyak menerima info
dari berbagai pihak, baik dari rakyat maupun pejabat. Pada acara survey lapang,
beliau melihat pemandangan yang tidak indah di depan istananya yang megah. Di
depan istana itu terdapat sebuah gubuk reot milik masyarakat yang tidak
mengenakkan sehingga terbetik di dalam pikiran gubernur untuk membangun sebuah
masjid megah di seputar lokasi tersebut. Ketika gubuk reot dan tanahnya akan
di ambil oleh sang gubernur, maka sang Yahudi menolak walau di tukar dengan sejumlah
uang yang berlipat, maka sang Yahudi tua ini menuntut keadilan ke Khalifah Umar
bin Khattab, sang Khalifah menjamu, dan mendengar keluhan sang Yahudi tersebut,
dan hanya menyampaikan untuk membawa tulang yang bertuliskan garis lurus dan gambar
pedang dalam tulang tersebut, Seketika mendapat pesan dari Amirul Mu’minin maka
kontan saja pucat berubah muka sang gubernur, dia mengetahui pesan tersebut
untuk menegakkan keadilan dan jika tidak pedang Umar lah yang akan meluruskan. Ini
artinya ketegasan, keadilan dan hukum berlaku untuk semua kalangan, begitulah
seharusnya pemahaman tentang hukum atau keadilan yang tidak hanya sekedar dalam
teori dan undang-undang saja.
Permasalahan
kepemimpinan itu tentunya bukan masalah kecil, ada banyak perlawanan dan ujian
yang di hadapkan atasnya, tanggung jawab pemimpin ini juga merupakan tanggung
jawab yang tidak mudah, maka tidak heran akan siapa pun yang menjadi pemimpin
yang adil akan menjadi penghuni surganya Allah SWT. Melihat tanggung jawab
besar ini, apakah lantas kemudian kita mencoba apatis terhadap kebijakan negara
atau pimpinan, kehidupan bernegara adalah kehidupan demokrasi yang banyak hal perlu
di pertimbangkan untuk mengatur hajat hidup orang banyak seperti misalnya di
wilayah kesatuan republik Indonesia, berbagai macam suku, budaya, agama, dan
politik menjadi bagian di dalamnya, menjadi tidak layak kiranya jika segala
kebijakan, dan usaha yang di lakukan oleh pemerintah justru di cemoohkan
apalagi sampai di hakimi dengan pembahasan kasar, seperti misalnya kafir,
thagut, dan lain sebagainya, atau juga mungkin saja mencoba untuk membangun
kekuatan untuk meruntuhkan penguasa dan menghancurkan negara.
Beberapa hal yang
membuat sengketa di dalam agama dan negara harus di urai dan di pecahkan
permasalahan nya, hingga persoalan bisa terjawab untuk kebersamaan, kebaikan
semua suku, budaya dan agama. Sungguh tidak benar jadinya jika dalam proses
kehidupan berbangsa, tatanan yang sudah hidup, dan di perjuangkan oleh the
founding fathers ternyata di tunggangi ideologi yang mencoba memecah belah
umat, bahkan tidak segan-segan menuduh secara langsung akan kafirnya orang yang
muslim, menyatakan halal darah maupun berjihad kepada penguasa. Pemahaman yang
tidak cerdas tentunya jika hanya berdalih dengan secara harfiah al Quran surat al Maidah ayat 44.
Para ulama mengatakan ini, sebab mengambil faham harfiyah, dengan memaknai
makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim “kafir” secara mutlak
terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya
sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri. Dalam
hadits rasulullah saw, beliau bersabda.
أَيُّمَا
امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang menyebut kepada
saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang
dari mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika
tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman
man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Kekeliruan dalam memahami QS. al-Maidah:
44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya
gerakan radikal di beberapa negara dan menjadi ideologi kelompok tertentu. Gegabah dalam
memvonis sebagai negara kafir atau penguasa kafir ini sering membawa sikap yang
merugikan islam, sehingga konskwensinya adalah munculnya pemberontakan dan huru
hara, dan yang menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa. Jika
melihat tentang sebab turun ayat yang menjadi dalil atau hujjah para kelompok
radikal yang dengan mudah menuduh dan melakukan penyerangan dengan bahasa kafir
ini maka dapat di temukan akar permasalahannya adalah bahwa ayat ini turun mengenai orang-orang Yahudi
yang merubah-rubah kalam Allah sebagaimana tertera dalam hadits, mereka adalah
orang-orang kafir, maka hukumnya sama dengan orang yang menyerupai sabab
turunnya ayat tersebut.
Pemikiran takfiri seperti
itu jelas keliru ditinjau dari beberapa hal: (1) Terlalu mudah hanya karena
perbedaan pandangan (2) Salah
menempatkan ayat-ayat al-Qur`an tentang kafir, yang seharusnya ayat tersebut
tujuannya adalah untuk orang kafir, ditujukan kepada orang beriman. (3)
Menyamaratakan konsep kafir menjadi kafir akbar semata. Akibatnya yang masuk
kategori kafir ashghar/amali pun dikategorikan kafir akbar dan dinyatakan
murtad. (4) Keliru memahami konsep murtad yang seharusnya khuruj
‘minal-millah (keluar dari agama) menjadi dipersempit pada tidak menetapkan
hukum Allah. (5) Memvonis thaghut kepada pemerintah dan menyamaratakan begitu
saja semua muslim yang terlibat dalam pemerintahan sebagai pendukung thaghut.
Dalam hal ini tampak pengingkaran mereka terhadap jasa perjuangan tokoh-tokoh
Islam yang dari sejak sebelum kemerdekaan sampai masa kemerdekaan berjuang
mati-matian menjadikan Negara ini Islami, meski memang belum berhasil secara kaffah.
Al Quran sendiri menjelaskan
bahwa hidup adalah untuk ber ta’abbud, beribadah kepada Yang Maha Esa
(QS. ad-Dzariyat: 56). Pengejawantahan ta’abbud ini tidak hanya
dilakukan dalam ritual resmi sholat saja, melainkan dalam berbagai bidang
kehidupan harus dilandasi dengan tujuan ta’abbud. Sehingga ketika
kehidupan dijalani dengan ikhlas untuk berta’abbud, maka konsekuensinya adalah
keadilan terhadap diri sendiri, keadilan terhadap sesama, keadilan terhadap
alam; kejujuran dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan; selalu berusaha
untuk menciptakan rasa kedamaian, kerukunan, kesatuan dan persatuan; yang pada
dasarnya Islam mengajarkan untuk selalu bersikap tawazzun, seimbang
dalam segala hal.
Masyarakat dan orang
yang ingin mendalami agama harus lebih bijak dalam memaknai ajaran agamanya
sehingga tidak membuat dirinya menjadikan bangsa sebagai musuhnya. Hal yang
harus di lakukan seharusnya adalah dengan menjaga keberanekaan dan kedamaian
seluruh elemen bangsa. Mencoba memberikan nasehat yang baik bila memang di
butuhkan oleh penguasa, jihad yang paling baik adalah mencoba memberikan
sesuatu hal yang berarti buat negeri ini, tanpa harus memusuhi dan menciptakan
bara api permusuhan di tengah umat. Masyarakat harus saling bahu membahu,
tolong menolong untuk menciptakan kesejahteraan untuk kepentingan bersama,
selama agama masih tetap bisa berjalan dan hukum nya masih bisa di laksanakan
oleh individu atau pemeluk nya maka tidak ada alasan untuk menolak kedaulatan
republik Indonesia tercinta, Undang-undang Dasar, dan kebhinnekaan lainnya. Itulah
akhlak Islam sesungguhnya dalam bermasyarakat dan bernegara.
*Penulis adalah Alumni
Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar