Laman

Senin, 10 Februari 2014

Bukhari



Oleh Dr. Asep Usman Ismail

Imam al-Bukhari adalah perawi atau periwayat hadis, dan  ulama ahli hadis terkenal. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al- Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari. Ia lebih dikenal dengan gelar al-Bukhari yang berarti “putra kelahiran Bukhara”, kota pusat peradaban Islam abad tengah di Uzbekistan. Imam al-Bukhari sejak kecil telah menunjukkan bakatnya yang cemerlang dalam studi Islam, terutama dalam memahami dan menghafal hadis Nabi saw. Beliau dikenal memiliki dua keunggulan yang menjadi syarat utama dalam periwayatan hadis, yaitu dhâbith dan ‘adâlah. Dhâbith berkenaan dengan kecrdasan, sedangkan‘adâlah berkenaan dengan integritas. Seorang perawi hadis  disebut dhâbith, apabila memiliki kemampuan untuk menyimak dengan akurat; menyimpan memori dengan kuat dan menuturkan hafalan dengan tepat. Tidak ada satu kata yang terlewat dan susunan yang berbelit. Kualitas dhâbith Imam al-Bukhari yang excellent tersebut dipadukan dengan kepribadian yang ‘adâlah meliputi muru`ah, menjaga kehormatan, martabat dan harga diri; ‘iffah, menjaga diri dari perkataan dan perbuatan tercela, serta bersikap amanah, jujur dan bertanggung jawab.

Kitab Jâmi as-Shahih yang lebih terkenal dengan nama Kitab Shahih Bukhari  merupakan magnum opus karya Imam al-Bukhari yang sangat terkenal setelah Al-Qur`an. Kitab ini berada pada urutan pertama di antara kutub as-sittah, enam kitab hadis. (1) Shahih Bukhari  karya Imam al-Bukhari; (2) Shahih Muslim karya Imam Muslim; (3) Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud; (4) Sunan Tirmidzi karya at-Tirmidzi; (5) Sunan an-Nasa`i karya an-Nasa`i;  dan (6) Sunan  Ibn Majah karya Ibn Majah.

Keenam kitab hadis ini diakui oleh jumhur ulama sebagai sumber rujukan pokok dalam mempelajari hadis Nabi saw. Dalam menyusun Kitab Shahih Bukhari, Imam al-Bukhari tidak hanya memperhatikn kesahihan matan, substansi hadis, tetapi juga memperhatikan kesinambungan sanad, mata rantai periwayatan hadis hinggan Rasulullah saw.  Beliau mempertahankan prinsip liqâ`, perjumpaan perawi yang satu dengan perawi yang lain, dalam periwayatan hadis dan menolak keras periwayatan hadis secara tertulis. Hal ini dipertahakan  oleh al-Bukhari semata-mata untuk menjaga  kualitas kesahihan hadis Nabi saw., sumber kedua ajaran Islam yang merinci maksud dan kandungan Al-Qur`an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar