Oleh Ghufron
Sebagai bagian dari sejarah
peradaban manusia, dalam perjalanan perkembangannya, Islam tidak luput dari
dinamika konflik dan perang. Rasulullah SAW pun selain berpredikat pemimpin
spiritual dan politik umat Islam pada masanya, tidak bisa terelakkan beliau
juga merupakan panglima perang melawan pasukan musuh dalam memperjuangkan
penegakan tauhid. Namun, di balik peperangan, sejarah juga mencatat berbagai
kisah perjanjian damai yang diinisiasi oleh Rasulullah, para sahabat dan
penerus mereka. Bukti historis tersebut dapat kita lihat dalam tiga peace
agreement bersejarah berikut ini; Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah,
dan Piagam Aelia atau Piagam Al-Quds. Perdamaian merupakan cara utama yang di
tempuh dalam dunia Islam, dari berbagai macam gejolak yang terjadi di dunia
Islam hingga memunculkan perintah perang tentunya dengan persayaratan yang
cukup ketat. Jika ada hal yang masih bisa di tempuh dengan cara damai, maka
tidak haram hukumnya untuk memantik perang, karena Islam itu tidak menumpahkan
darah, Islam itu memelihara nyawa, bahkan lingkungan sekalipun, dalam fathu
Makkah dan penguasaan terhadap Madinah al Munawarah tidak ada satu nyawa pun
yang melayang atau darah yang di tumpahkan. Islam dengan misi damai memberikan harapan
untuk melakukan cara-cara terbaik dalam kondisi aman, selama negara tidak di
jajah, dan agama tidak di rampas haknya untuk menjalankan ibadah. Bahkan rasulullah
saw hijrah untuk bekerja sama dan meminta perlindungan raja Najasy di Habsyah yang
beragama Nashrani untuk melindungi kaum muslimin dari perlakuan kafir Qurais
yang melakukan aksi boikot dan penganiayaan terhadap kaum Muslimin. Marilah kita
lihat sejarah yang membuktikan bahwa kedamaian Islam merupakan cara yang di
tempuh untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan bagi umat, bangsa dan
negara.
Piagam Madinah
Piagam Madinah (Al-Sahifah
Al-Madinah atau Mithaq Al-Madinah) merupakan karya monumental kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW di Madinah, yang proses kelahirannya cukup panjang dan
berliku. Lahirnya piagam yang populer di kalangan pakar sejarah dan politik
sebagai konstitusi Negara Madinah tersebut tidak lepas dari momentum hijrah
Nabi dan kaum Muhajirin dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Proses hijrah
sendiri sudah terwacanakan dua tahun sebelumnya ketika beberapa perwakilan
penduduk Madinah (saat itu bernama Yatsrib) dari suku Khazraj menemui dan
dibaiat Nabi setelah menunaikan haji. Pasca-pertemuan itu, secara terhormat
Nabi telah dinobatkan menjadi pemimpin (chief) Madinah dan diharapkan
kepemimpinannya membawa kemajuan bagi Madinah. Hubungan harmonis tersebut terus
terbina dengan menyusulnya para sahabat ke Madinah atas rekomendasi Nabi.
Setelah berhijrah, Nabi mulai
membangun peradaban Madinah dengan serangkaian langkah dan kebijakan penting.
Beliau SAW membangun masjid di tengah kota sebagai pusat peradaban, di samping
itu beliau mempersaudarakan umat Muslim Anshar dan Muhajirin, serta satu
kebijakan penting yang beliau selenggarakan yakni memaklumatkan Piagam Madinah.
Dokumen berkekuatan konstitusional yang diprakarsai oleh Nabi ini adalah bentuk
perjanjian formal antara diri beliau sendiri sebagai representasi umat Muslim
dengan seluruh penduduk Madinah. Dokumen tersebut disusun secara rinci dan
jelas. Tujuannya untuk menghentikan perseteruan antar-bani (suku),
terutama suku Aus dan Khazraj, serta membangun persatuan seluruh warga Madinah
yang sangat plural. Secara sosiologis penduduk Madinah terbagi ke dalam 4
kelompok. Yang pertama adalah umat Muslim Muhajirin yang berhijrah dari Makkah.
Kelompok kedua adalah Anshar yakni penduduk Muslim pribumi Madinah. Kelompok
ketiga adalah pemeluk Yahudi yang secara garis besar terdiri atas beberapa
suku; Qainuqa`, Nadhir, dan Quraizhah. Yang terakhir ialah komunitas pemeluk
tradisi nenek moyang atau penganut paganisme (penyembah berhala).
Piagam Madinah berisi 47 pasal yang
terdiri atas mukadimah, pembahasan tentang pembentukan umat, persatuan
agama, persatuan suku dan warga, perlindungan kelompok minoritas, tugas setiap
warga, perlindungan wilayah, serta di akhiri dengan penutup. Mengingat
substansi Piagam Madinah yang sarat akan kepentingan sosial dan politik bagi
stabilitas warga Madinah, maka tidak mengherankan jika dokumen ini menjadi
pondasi bagi keberlangsungan Negara Madinah. Terdapat empat pokok pikiran dalam
Piagam Madinah yang memenuhi syarat menjadi pondasi atau konstitusi negara.
Pertama, Piagam Madinah mempersatukan umat Islam dalam satu ikatan persaudaraan
sesama Muslim. Kedua, dokumen tersebut menghidupkan semangat kerjasama dan
hidup rukun dalam kemajemukan (peaceful co-existence), dan
saling menjamin hak sesama warga Madinah. Ketiga, kesepakatan bersama itu
mewajibkan setiap penduduk Madinah untuk mempertahankan dan melindungi Madinah
dari serangan pihak luar. Keempat, Piagam Madinah menjamin hak persamaan dan
kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan
mereka.
Salah satu yang menonjol dari
inklusivitas pemikiran Rasulullah dalam Piagam Madinah adalah dengan mengikat
seluruh penduduk, utamanya kaum Muslim dan Yahudi sebagai satu ummah
yang saling menghargai kebebasan beragama. Hal itu sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 25 Piagam Madinah yang berbunyi “Kaum Yahudi Bani Auf bersama
dengan warga yang beriman adalah satu ummah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan
kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikin pula halnya dengan sekutu
dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan
dosa dalam hal ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya”.
Piagam Madinah telah mengubah
eksistensi penduduk Madinah dari sekedar sekumpulan manusia dari latar suku dan
agama berbeda menjadi kesatuan masyarakat politik, yang memiliki kedaulatan dan
otoritas politik wilayah Madinah. Dampak yang lebih luas dirasakan ketika
Madinah menjadi tempat melangsungkan kehidupan, membangun kerjasama dalam
maslahat serta dilandasi kesadaran sosial-independen, bebas dari pengaruh atau
kekuasaan masyarakat luar.
Perjanjian Hudaibiyah
Selain Piagam Madinah, perjanjian
damai yang juga menjadi catatan penting sejarah adalah Perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian ini terjadi antara Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Madinah dengan
penguasa Makkah yakni pembesar suku Quraisy sebagai suku mayoritas di Makkah,
yang disebabkan karena terhalanginya umat Muslim di Madinah yang hendak berhaji
ke Makkah oleh kaum Quraisy. Saat itu pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 H,
serombongan Muslim Madinah hendak berhaji, namun mereka berhenti di Hudaibiyah
karena mendengar ada larangan dan pencegatan oleh kaum Quraisy. Kaum Quraisy
mengerahkan mata-mata untuk memastikan bahwa warga Madinah hanya untuk berhaji,
bukan untuk berperang melawan mereka. Namun di hari yang lain, sebanyak 50
mata-mata yang dikirim justru melempari kemah warga Muslim Madinah di
Hudaibiyah. Ketegangan pun terjadi. Untuk meredakan konflik, Usman bin Affan
diutus Rasulullah untuk berdiplomasi dengan pimpinan Quraisy. Para sahabat
sempat khawatir karena lama ditunggu Usman belum kembali ke Hudaibiyah. Mereka
beranggapan bahwa Usman telah dibunuh Quraisy tetapi kehawatiran itu lenyap
ketika Usman kembali dengan selamat di Hudaibiyah.
Dalam perundingan, meskipun Quraisy
mengakui kedatangan Muslimin ke Makkah hanya untuk berhaji tetapi mereka tetap
berupaya mempersempit ruang gerak umat Muslim, bahkan ingin menggagalkan ibadah
haji kaum Muslim Madinah. Setelah beberapa kali negosiasi, akhirnya kedua belah
pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian. Rasulullah sendiri hadir dalam
persitiwa tersebut meskipun menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai delegasi
mewakili umat Muslim. Sementara itu suku Quraisy mengutus Suhail bin Amr
sebagai juru rundingnya. Setelah proses diskusi dan negosiasi yang panjang dan
menegangkan, kedua pihak menyepakati perjanjian damai yang terkenal disebut
Perjanjian Hudaibiyah. Nama Hudaibiyah diambil sesuai dengan lokasi terjadinya
perjanjian. Adapun isi dari Perjanjian Perdamian Hudaibiyah adalah sebagai
berikut:
- Kedua belah pihak setuju untuk mengadakan gencatan senjata
- Barangsiapa dari kaum Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang ke pihak Rasulullah, maka ia harus dikembalikan kepada mereka
- Barangsiapa dari pengikut Rasulullah menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah
- Barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan Rasulullah, maka hal itu diperolehkan; dan barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan pihak Quraisy, hal itu juga diperbolehkan
- Nabi dan kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan ketentuan akan kembali ke Makkah pada tahun berikutnya dengan syarat mereka tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa adalah pedang yang tersarung.
Pasca-penandatanganan perjanjian,
Nabi SAW mencium aroma kekecewaan dari sebagian sahabat atas strategi
perjuangan melalui perjanjian yang seolah menggambarkan seperti kalah sebelum
berperang. Nabi sendiri menyadari bahwa konsekuensi dari strategi perundingan
damai tersebut bisa memicu kekecewaan dan perpecahan di kalangan umat Muslim
sendiri. Di tengah situasi tersebut, turunlah firman Allah: “Sesungguhnya
telah Kami bukakan kemenangan yang nyata kepadamu, supaya Allah akan memberi
ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, dan
akan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberi petunjuk kepadamu jalan yang
lurus, dan Allah akan menolong kamu dengan pertolongan yang kuat” (QS.
Al-Fath: 1-3).
Seketika Nabi menyampikan ayat
tersebut kepada Umar bin Khattab dan para sahabat yang sedari awal belum
seratus persen menerima perjanjian tersebut. Oleh karenanya ketika mendengar
ayat tersebut, Umar bin Khattab langsung bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah,
apakah perjanjian tersebut merupakan suatu kemenangan?” Dengan tegas Nabi
menjawab “Ya”. Barulah kemudian Umar bin Khattab dan para sahabat dengan legowo
menerima Perjanjian Hudaibiyah sebagai strategi jitu menjinakkan hegemoni Quraisy
atas Makkah. Maka imbasnya, setelah perjanjian berlaku, kaum Muslimin mendapat
kebebasan beribadah haji maupun umrah di Makkah yang bermakna pula pengakuan
hak beragama Islam di jazirah Arab, tanpa terjadinya peperangan. Tidak hanya
itu, perjanjian ini telah membuka akses kaum Muslim untuk mengembangkan sayap
dakwah tanpa tekanan Quraisy. Selain itu, secara politis perjanjian tersebut
menunjukkan pengakuan kaum Quraisy bahwa Nabi Muhammad ialah pimpinan umat
Muslim di Madinah.
Piagam Aelia
Piagam Aelia mungkin saja kalah
populer dengan Piagam Madinah atau Perjanjian Hudaibiyah. Namun, seperti
keduanya, piagam ini juga mempunyai peran penting dalam menciptakan stabilitas
sosial politik serta perkembangan Islam di Aelia pada masa itu. Nama Aelia
berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Kini kota ini
lebih dikenal dengan nama Jerussalem atau Al-Quds. Persentuhan Islam dengan kota Aelia
setelah Isra Mi’raj Nabi dari Makkah ke Palestina adalah ketika Khalifah Umar
bin Khattab memasuki kota tersebut pada tahun ke-15 H setelah sebelumnya
pasukan Islam menaklukkan Romawi. Penguasa Aelia saat itu, Patriarch
Sophronius, secara khusus meminta kepada Umar bin Khattab untuk proses serah
terima kota. Ketika menerima kekuasaan Aelia atau Al-Quds, Umar bin Khattab
seketika membuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Aelia atau disebut
juga Konvensi Umar pada 20 Rabi’ul Awal 15 H.
Isi perjanjian tersebut adalah
pernyataan politis penguasa kepada wilayah kekuasaannya dalam memberikan
jaminan terhadap penduduknya terkait tiga hal. Pertama, jaminan akan keamanan
harta dan jiwa semua penduduk Aelia. Kedua, pernyataan atas jaminan kebebasan
beragama. Ketiga, kewajiban membayar pajak. Sekilas konvensi ini mengingatkan
kita pada intisari Piagam Madinah yang memberikan jaminan kesetaraan hak dan
kewajiban bagi seluruh penduduknya. Semangat memelihara perdamaian begitu
kental ketika membaca penggalan paragraph pertama dari konvensi ini yang
berbunyi “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar, Amirul
Mu`minin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan atas jiwa dan harta
mereka, atas gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit ataupun
sehat, dan jaminan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka
tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu
pun dari gereja-gereja itu, dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari
salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta mereka di dalam gereja. Mereka
tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka
boleh diganggu.”
Piagam Madinah (Mithaq Al-Madinah),
Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Aelia adalah beberapa contoh Islamic peace
agreement yang menjadi bukti rekam jejak historis bahwa dakwah Islam yang
tersebar ke seluruh dunia tidak identik dengan peperangan. Hal ini menjadi
bukti kuat logika normatif Islam sebagai agama yang turun ke bumi sebagai
rahmat untuk semua alam (Rahmatan lil alamin). Demikianlah semboyan yang
sekaligus menjadi misi Islam sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Dan
tiadalah Kami mengutusmu (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmatan
lil-alamin, pengasih bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya`: 107).
* Penulis ialah mahasiswa Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dimana perjanjian hudaibiyah terjadi
BalasHapus