Oleh : Rahmat Kurnia Lubis
Setiap keberagamaan di
suatu wilayah tidak terlepas dari pada corak budaya dan penyebar keberagamaan
tersebut. Di Indonesia nuansa penyebaran agama Islam yang di lakukan oleh para
ulama dari berbagai wilayah seperti Gujarat, Persia, maupun Arab. Hal ini
menjadi teori yang sekaligus khasanah masuknya Islam ke nusantara. Namun yang
lebih penting dari pada itu adalah tentang bagaimana agama ini bisa berkembang,
persentuhan nya dengan tradisi lokal, dan hingga menjadi agama terbesar di
Indonesia, hal ini tentu nya menarik untuk di perhatikan mengingat Islam
bukanlah ajaran pertama yang sudah masuk dalam budaya nusantara ini.
Penting untuk diketahui
diantara faktor yang menyebabkan penduduk nusantara banyak yang beragama Islam
antara lain, seperti faktor pernikahan
antara para pedagang dengan bangsawan. Contohnya Raja Brawijaya menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden Fatah.
Pendidikan Pesantren, Pedagang Islam, Seni dan kebudayaan, seterusnya adalah peran dakwah itu
sendiri. Sementara itu yang penyebab agama Islam dapat cepat berkembang di nusantara
antara lain karena syarat masuk agama Islam tidak berat, yaitu hanya dengan
mengucapkan kalimat syahadat. Upacara-upacara dalam Islam sangat sederhana. Islam
tidak mengenal sistem kasta. Islam tidak menentang adat dan tradisi setempat. Dalam penyebaran nya dilakukan
dengan jalan damai. Runtuh nya kerajaan Majapahit memperlancar penyebaran agama Islam.
Dari sejarah tersebut, faktor
masuknya Islam dan penyebaran di lakukan dengan cara yang bijaksana, tentu nya
hal ini menjadi suatu pelajaran berharga tentang bagaimana sesungguhnya memupuk
semangat juang dakwah agar tetap menjadi suatu kebanggaan bahwa muslim di
Indonesia menjadi populasi jumlah terbesar di seluruh negara dunia. Jika pengembangan
dakwah sudah termasuk berhasil ke Indonesia, bahkan dalam sejarah nya Islam
menjadi penopang bagi garda depan kemerdekaan Indonesia, hal ini bukanlah suatu
pembahasan yang subjektif namun bisa di lihat fakta sejarah tersebut tentang
bagaimana perjuangan para ulama sehingga perjuangan kemerdekaan menjadi resolusi
jihad ketika itu.
Berbicara keIndonesiaan
tentu nya ada sejarah dan budaya yang menyatu, yaitu tentang amalan terhadap
suatu ibadah yang mungkin berlainan dalam dengan pemikiran dan idelogi
keagamaan muslim lain, hal itu adalah wajar mengingat tentang keberIslaman
nusantara ini juga tidak terlepas dari beberapa ulama penyebar dari negara yang
menyemai nya ke Indonesia, jika kita hanya melihat perbedaan sebagai sebuah kenyataan
pahit yang harus di berangus tentu bisa jadi kemerdekaan itu tidak akan kunjung
usai untuk di raih bagi wilayah republik
Indonesia ini, namun dengan rahmat Allah SWT dengan niat yang ikhlas serta
saling bahu membahu, tolong menolong tanpa harus menanyakan identitas, imam dan
madzhab nya apa maka perjuangan ini menjadi sebuah anugerah besar buat rakyat
Indonesia.
Peristiwa sejarah yang
memberikan corak keberIslaman di Indonesia tentunya tidak dapat di pungkiri,
maka dalam hal ini jika ada perbedaan itu menjadi sesuatu hal yang wajar,
seperti misalnya corak pemikiran yang kecenderungan bermadzhab Persia, Gujarat,
dan Arab seperti Makkah dan Madinah. Selain itu seperti telah di ungkap di awal
bahwa perkembangan Islam itu sendiri bersentuhan dengan budaya lokal, artinya
segala sesuatu hal yang mencirikan Islam juga bisa sejalan dengan budaya dan
kearifan lokal yang ada, dan karena inilah sesungguhnya Islam bisa di terima
oleh masyarakat setempat.
Menjadi tidak benar
kemudian jika harus memaksakan suatu hal yang tidak esensial menjadi propaganda
untuk memecah belah kaum muslim itu sendiri, Jika wayang kulit memang tidak di
haramkan dan bisa menjadi media pemersatu bangsa maka hal ini menjadi suatu hal
yang harus di pelihara untuk Islam tanah air, begitu pun bila acara sekaten
hanya sebatas silaturrahim, memupuk rasa syukur, mencairkan suasana dan saling
berbagi maka itu tidak perlu di usik karena itu adalah budaya lokal. Dan masih
banyak lagi budaya-budaya lokal keIndonesiaan yang harus di jaga dan di
lestarikan tanpa harus mencoba mengarabisasi, karena kultur dan budaya Indonesia
memang budaya yang menjadi milik semua warga bangsa. Prinsip Islam lahir dan
turun sebagai rahmat untuk manusia dan alam semesta, artinya agama ini lahir
tidak ingin menggantikan semua tatanan yang sudah ada kepada tatanan baku dan
baru. Kehidupan sosial kultural adalah kehidupan yang harus tetap hidup
sepanjang tidak ada unsur syirik, dan kedzholiman di dalamnya.
Ada banyak cara umat
Islam dalam mengekspresikan keberIslaman ini, namun perlu di ingatkan kembali
bahwa kehidupan budaya adalah kehidupan keIndonesiaan yang bisa sejalan dengan
Islam sesuai dengan apa yang di ajarkan para pendahulu seperti para wali di
tanah pulau Jawa. Menjadi pelajaran berharga tentunya, agar membuat Islam yang
luas dan toleran ini agar tetap bersatu, hingga persatuan ini tidak hanya di
lihat secara kuantitas tentang jumlah penduduk muslim warga Indonesia tapi juga
di tunjukkan sebagai umat Islam yang kuat, cerdas, toleran, dan berbudaya
melalaui kwalitas yang mumpuni di mata dunia Internasional. Pembahasaan saya
harus menjadi ana, kamu menjadi sampeyan, ayah harus menjadi abi adalah masalah
kecil yang tanpa mengusik kebersamaan yang membuat diri merasa paling sholeh
dan berubah menjadi tampilan radikal. Terkadang justru harus kita lihat tentang
maslahat nya seperti halnya dalam berpakaian jika budaya Indonesia memiliki
budaya pakaian yang masih bisa di jamin syar’i maka tidak menjadi masalah
kemudian menjadikan penampilan ini sebagai corak peradaban Islam Indonesia ke
seluruh dunia tanpa harus menampilkan busana yang justru menghilangkan jati
diri bangsa apalagi cara berpakaian tersebut justru memperpanjang pertanyaan
dan sangkaan manusia lainnya. Dalam hal ini menolak mafsadat atau kecurigaan/perselisihan lebih di utamakan untuk
menarik kepentingan bersama yang jauh lebih besar.
*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar