Oleh : Erka Negarawan
Banyak orang begitu enteng menyatakan orang lain
sebagai sesat, kafir, dan halal darahnya. Bahkan ada beberapa penceramah agama
yang dalam banyak kesempatan mengulang-ulang kata-kata yang menebarkan
kebencian (hate speech) tersebut. Mereka seolah tidak sadar bahwa kata-kata
kasar itu merupakan benih terorisme lantaran memprovokasi orang lain untuk
melakukan kekerasan.
“Terorisme itu ujungnya. Yang sangat saya
sayangkan adalah hate speech berbasis agama. Sekarang di rumah-rumah ibadah
banyak sekali kata-kata kebencian yang keluar justru dari orang yang katanya
ahli agama atau bekerja untuk mendakwahkan agama,” ungkap Nia Sjarifuddin,
Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) kepada Lazuardi Birru saat
berbincang soal problem kekerasan atas nama agama di Indonesia.
“Saya tidak mengerti bagaimana para agamawan
mengembangkan karakter keagamaan diri dan jamaatnya dengan cara menebarkan
kebencian kepada kelompok lain,” imbuh dia. Ia berkisah tentang pengalaman
dirinya saat putranya yang kala itu duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar
tiba-tiba bertanya, “Ibu, siapakah orang kafir? Apakah orang kafir boleh
dibunuh? Apakah orang kafir harus dibenci?” Terhenyak dengan pertanyaan itu,
Nia balik bertanya kepada buah hatinya dari mana ia mendapatkan kata-kata
tersebut? “Ternyata anak saya justru mendengar kata-kata
itu dari seorang penceramah di salah satu pengajian dekat sekolahnya,” kenang
Nia. Ia menyayangkan tidak adanya kontrol dan aturan tegas dari pemerintah maupun
para alim ulama dalam hal ini fatwa majelis ulama Indonesia mengenai hate
speech ini. Selain itu masyarakat sipil juga tidak bisa menjadi gerakan kontrol
atas hal tersebut.
“Bisa jadi sebagian merasa risih atas
ucapan-ucapan itu, namun karena harus beribadah dan tidak ada pilihan tempat mereka
hanya bisa mendengar. Saya berharap masyarakat memiliki filter yang kuat,”
ujarnya. Namun apakah hate speech berkorelasi dengan terorisme? “Beberapa hasil
survei terakhir menyebutkan bahwa ceramah-ceramah keagamaan yang menebarkan
kebencian mendorong orang untuk melakukan aksi-aksi radikalisme,” jawabnya.
Ia mengusulkan agar aturan hate speech digodok
dalam musyawarah para pengambil keputusan dengan melibatkan para tokoh agama
perwakilan pelbagai Ormas keagamaan.“Semestinya soal perbedaan mazhab dan akidah
dapat dibicarakan dalam forum-forum diskusi ilmiah yang menjunjung tinggi etika
akademis, bukan dalam ruang publik yang saling menghujat satu sama lain,”
tandasnya. Nia mengapresiasi tindakan kepolisian yang cukup
berhasil mencegah aksi-aksi teror melalui serangkaian penangkapan. Namun dalam
hematnya, jika Negara membiarkan hate speech, itu sama saja Negara melakukan
pemeliharaan atas bibit terorisme. Keterlibatan usia muda pada gerakan-gerakan
radikal atau bahkan teroris sejatinya merupakan tamparan yang sangat keras bagi
institusi sosial yang terkecil, keluarga. Keluarga yang seharusnya tempat
pendidikan yang paling mendasar dan perlindungan anak berubah menjadi ruang
asing dan sedemikian hingga mereka mencari ruang-ruang lain.Terlebih lagi usia
belia adalah episode petualangan mencari bentuk diri. Bukan sebuah kebetulan
jika anak-anak usia belia ini bertemu dengan para radikalis dan teroris yang
menyamar menjadi mentor-mentor agama.
Antusiasme keberagamaan harus di pahami sebagai
sebuah jalan untuk memahi Islam yang damai, toleran, dan rahmat bagi semesta.
Puncak keasyikan beragama jangan serta merta di salah tafsirkan menjadi
pemahaman yang memusuhi bagi orang yang berlainan pendapatnya. Karena jika kita
selalu mengkait-kaitkan terhadap sesuatu hal yang berbeda pendapat di atas
dunia ini, tentunya tidak akan ada kesempatan damai, akrena pada dasarnya Allah
SWT telah menggariskan manusia berbangsa-bangsa bersuku-suku, pada akhirnya
perbedaan itu adalah fitrah, dan yang paling arif adalah menyikapi kekecewaan
baik persengketaan berbagai hal yang menyangkut harga diri, agama, ras maupun suku
serta kebangsaan dengan jalan yang cerdas, pemahaman yang luas, tetap
mengedepankan persatuan dan harga diri bersama. Itulah yang di bangun dalam
bingkai Islam.
Perbedaan ibarat dua mata pisau yang saling berlawanan. Di satu sisi
tumpul, namun di sisi lain tajam. Di dalamnya terdapat potensi negatif
dan positif yang menjadi konsekuensi dari perbedaan itu. Namun potensi
tersebut bisa dikendalikan dan dirawat agar aura negatifnya berubah
menjadi positif. Misalnya kekerasan berlabel agama yang kerap muncul
dari perbedaan bisa diminimalisir melalui pemahaman keberagaman dan
toleransi. Sikap saling menghargai tersebut dapat menjadikan perbedaan
sebagai sesuatu yang dinamis
(Tulisan ini diolah dari berbagai macam sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar