Laman

Senin, 10 Februari 2014

Keluarga Pintu Utama Cegah Ideologi Radikal dan Teror



Image
Oleh : Erka Negarawan

Banyak orang begitu enteng menyatakan orang lain sebagai sesat, kafir, dan halal darahnya. Bahkan ada beberapa penceramah agama yang dalam banyak kesempatan mengulang-ulang kata-kata yang menebarkan kebencian (hate speech) tersebut. Mereka seolah tidak sadar bahwa kata-kata kasar itu merupakan benih terorisme lantaran memprovokasi orang lain untuk melakukan kekerasan.

“Terorisme itu ujungnya. Yang sangat saya sayangkan adalah hate speech berbasis agama. Sekarang di rumah-rumah ibadah banyak sekali kata-kata kebencian yang keluar justru dari orang yang katanya ahli agama atau bekerja untuk mendakwahkan agama,” ungkap Nia Sjarifuddin, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) kepada Lazuardi Birru saat berbincang soal problem kekerasan atas nama agama di Indonesia.

“Saya tidak mengerti bagaimana para agamawan mengembangkan karakter keagamaan diri dan jamaatnya dengan cara menebarkan kebencian kepada kelompok lain,” imbuh dia. Ia berkisah tentang pengalaman dirinya saat putranya yang kala itu duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar tiba-tiba bertanya, “Ibu, siapakah orang kafir? Apakah orang kafir boleh dibunuh? Apakah orang kafir harus dibenci?” Terhenyak dengan pertanyaan itu, Nia balik bertanya kepada buah hatinya dari mana ia mendapatkan kata-kata tersebut? “Ternyata anak saya justru mendengar kata-kata itu dari seorang penceramah di salah satu pengajian dekat sekolahnya,” kenang Nia. Ia menyayangkan tidak adanya kontrol dan aturan tegas dari pemerintah maupun para alim ulama dalam hal ini fatwa majelis ulama Indonesia mengenai hate speech ini. Selain itu masyarakat sipil juga tidak bisa menjadi gerakan kontrol atas hal tersebut.

“Bisa jadi sebagian merasa risih atas ucapan-ucapan itu, namun karena harus beribadah dan tidak ada pilihan tempat mereka hanya bisa mendengar. Saya berharap masyarakat memiliki filter yang kuat,” ujarnya. Namun apakah hate speech berkorelasi dengan terorisme? “Beberapa hasil survei terakhir menyebutkan bahwa ceramah-ceramah keagamaan yang menebarkan kebencian mendorong orang untuk melakukan aksi-aksi radikalisme,” jawabnya.

Ia mengusulkan agar aturan hate speech digodok dalam musyawarah para pengambil keputusan dengan melibatkan para tokoh agama perwakilan pelbagai Ormas keagamaan.“Semestinya soal perbedaan mazhab dan akidah dapat dibicarakan dalam forum-forum diskusi ilmiah yang menjunjung tinggi etika akademis, bukan dalam ruang publik yang saling menghujat satu sama lain,” tandasnya. Nia mengapresiasi tindakan kepolisian yang cukup berhasil mencegah aksi-aksi teror melalui serangkaian penangkapan. Namun dalam hematnya, jika Negara membiarkan hate speech, itu sama saja Negara melakukan pemeliharaan atas bibit terorisme. Keterlibatan usia muda pada gerakan-gerakan radikal atau bahkan teroris sejatinya merupakan tamparan yang sangat keras bagi institusi sosial yang terkecil, keluarga. Keluarga yang seharusnya tempat pendidikan yang paling mendasar dan perlindungan anak berubah menjadi ruang asing dan sedemikian hingga mereka mencari ruang-ruang lain.Terlebih lagi usia belia adalah episode petualangan mencari bentuk diri. Bukan sebuah kebetulan jika anak-anak usia belia ini bertemu dengan para radikalis dan teroris yang menyamar menjadi mentor-mentor agama.

Antusiasme keberagamaan harus di pahami sebagai sebuah jalan untuk memahi Islam yang damai, toleran, dan rahmat bagi semesta. Puncak keasyikan beragama jangan serta merta di salah tafsirkan menjadi pemahaman yang memusuhi bagi orang yang berlainan pendapatnya. Karena jika kita selalu mengkait-kaitkan terhadap sesuatu hal yang berbeda pendapat di atas dunia ini, tentunya tidak akan ada kesempatan damai, akrena pada dasarnya Allah SWT telah menggariskan manusia berbangsa-bangsa bersuku-suku, pada akhirnya perbedaan itu adalah fitrah, dan yang paling arif adalah menyikapi kekecewaan baik persengketaan berbagai hal yang menyangkut harga diri, agama, ras maupun suku serta kebangsaan dengan jalan yang cerdas, pemahaman yang luas, tetap mengedepankan persatuan dan harga diri bersama. Itulah yang di bangun dalam bingkai Islam.

Perbedaan ibarat dua mata pisau yang saling berlawanan. Di satu sisi tumpul, namun di sisi lain tajam. Di dalamnya terdapat potensi negatif dan positif yang menjadi konsekuensi dari perbedaan itu. Namun potensi tersebut bisa dikendalikan dan dirawat agar aura negatifnya berubah menjadi positif. Misalnya kekerasan berlabel agama yang kerap muncul dari perbedaan bisa diminimalisir melalui pemahaman keberagaman dan toleransi. Sikap saling menghargai tersebut dapat menjadikan perbedaan sebagai sesuatu yang dinamis 

(Tulisan ini diolah dari berbagai macam sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar