Oleh Dr. Asep Usman Ismail
‘Aisyah adalah putri Abu Bakar Shiddiq, isteri
Rasulullah saw termuda, tercantik dan terkenal sangat cerdas. Rasulullah saw
menyebut ‘Aisyah dengan panggilan khusus, Humayra, si pipi merah.
Panggilan ini mengisyaratkan komunikasi harmonis dan humanistik
Rasulullah saw sebagai seorang suami terhadap isteri tercinta. Cara
Rasulullah saw memanggil isterinya, Siti ‘Aisyah, sejalan dengan sabda
beliau: “Yang terbaik di antara kamu, yang terbaik di antara kamu,
yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap anak
perempuan dan isterinya”. (H.R. Al-Bukhari).
Abu Bakar Shiddiq menikahkan putinya, ‘Aisyah,
kepada Rasulullah saw., ketika ‘Aisyah baru berumur 9 tahun, tetapi beliau baru
bermu’asyarah dengan Siti ‘Aisyah sebagai suami-isteri ketika ‘Aisyah
sudah akil baligh. Pernikahan Rasulullah saw dengan Siti ‘Aisyah menimbulkan
tuduhan kaum orientalis, ahli Islam dan ketimuran yang tidak beragama Islam,
bahwa Rasulullah saw hiperseks. Tuduhan ini sangat tidak mendasar, semata-mata
karena memandang pernikahan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
seksual. Para orientalis tidak memahami bahwa perbuatan Rasulullah saw
terbimbing oleh wahyu dan mengandung hikmah bagi kebaikan Islam dan kaum
Muslimin. Rasulullah saw adalah pemuda berusia 25 tahun yang menikah dengan
janda berumur 40 tahun. Beliau tidak pernah menikah dengan wanita lain hingga
Siti Khadijah wafat pada waktu Rasulullah saw berusia 52 tahun. Kebutuhan
seksual Rasulullah saw terpenuhi dengan hanya menikahi satu orang isteri.
Pernikahan beliau dengan seorang wanita setelah Siti Khadijah wafat mengandung
hikmah masing-masing.
Hikmah pernikahan beliau dengan Siti
‘Aisyah. Pertama, ‘Aisyah menjadi satu-satunya sumber rujukan tentang
fiqh perempuan bagi kaum Muslimin yang tidak berjumpa dengan Rasulullah saw
dalam memahami sunnah Nabi tentang kehidupan suami isteri. Kedua, ‘Aisyah
yang muda belia dimungkinkan berumur panjang sehingga menjadi satu-satunya juru
bicara yang otoritatif tentang kehidupan pribadi Nabi saw. Ketiga, ‘Aisyah yang
sangat cerdas dirancang oleh Allah menjadi orang yang paling banyak
meriwayatkan hadits, terutama tentang hubungan suami isteri. Keempat,
keterlibatan ‘Aisyah dalam bidang politik sesudah Nabi wafat mengisyaratkan
bahwa masalah sosial politik merupakan ranah ijtihad, yang bisa salah bisa
benar. Kelima, tidak ada larangan dari Rasulullah saw bagi seorang perempuan
untuk terjun dalam politik dan terlibat dalam perang, sebab jika ada larangan
tentu Siti ‘Aisyah tidak akan melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar