Laman

Selasa, 28 Januari 2014

‘AISYAH



Oleh Dr. Asep Usman Ismail

‘Aisyah adalah putri Abu Bakar Shiddiq, isteri Rasulullah saw termuda, tercantik dan terkenal sangat cerdas. Rasulullah saw menyebut ‘Aisyah dengan panggilan khusus, Humayra, si pipi merah. Panggilan ini mengisyaratkan komunikasi harmonis dan  humanistik Rasulullah saw sebagai seorang suami terhadap isteri tercinta. Cara  Rasulullah saw memanggil isterinya, Siti ‘Aisyah, sejalan dengan sabda beliau: “Yang terbaik  di antara kamu, yang terbaik di  antara kamu, yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap anak perempuan dan isterinya”.  (H.R. Al-Bukhari).

Abu Bakar Shiddiq menikahkan putinya, ‘Aisyah, kepada Rasulullah saw., ketika ‘Aisyah baru berumur 9 tahun, tetapi beliau baru bermu’asyarah dengan Siti ‘Aisyah sebagai suami-isteri ketika ‘Aisyah  sudah akil baligh. Pernikahan Rasulullah saw dengan Siti ‘Aisyah menimbulkan tuduhan kaum orientalis, ahli Islam dan ketimuran yang tidak beragama Islam, bahwa Rasulullah saw hiperseks. Tuduhan ini sangat tidak mendasar, semata-mata karena memandang pernikahan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan  seksual. Para orientalis tidak memahami bahwa perbuatan Rasulullah saw terbimbing oleh wahyu dan mengandung hikmah bagi  kebaikan Islam dan kaum  Muslimin. Rasulullah saw adalah pemuda berusia 25 tahun yang menikah dengan janda berumur 40 tahun. Beliau tidak pernah menikah dengan wanita lain hingga Siti Khadijah wafat pada waktu Rasulullah saw berusia 52 tahun. Kebutuhan  seksual Rasulullah saw terpenuhi dengan hanya menikahi satu orang  isteri. Pernikahan beliau dengan seorang wanita setelah Siti Khadijah wafat mengandung hikmah masing-masing.

Hikmah pernikahan  beliau dengan Siti ‘Aisyah.  Pertama, ‘Aisyah menjadi satu-satunya sumber rujukan tentang fiqh perempuan bagi kaum Muslimin yang tidak berjumpa dengan Rasulullah saw dalam memahami sunnah Nabi tentang kehidupan  suami isteri. Kedua, ‘Aisyah yang muda belia dimungkinkan berumur panjang sehingga menjadi satu-satunya juru bicara yang otoritatif tentang kehidupan pribadi Nabi saw. Ketiga, ‘Aisyah yang sangat cerdas dirancang oleh Allah menjadi orang yang paling banyak meriwayatkan hadits, terutama tentang hubungan suami isteri. Keempat, keterlibatan ‘Aisyah dalam bidang politik sesudah Nabi wafat mengisyaratkan bahwa masalah sosial politik merupakan ranah ijtihad, yang bisa salah bisa benar. Kelima, tidak ada larangan dari Rasulullah saw bagi seorang perempuan untuk terjun dalam politik dan terlibat dalam perang, sebab jika ada larangan tentu Siti ‘Aisyah tidak akan melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar