Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Siapa orang yang tidak mau menikah,
dan siapa yang tidak tahu arti menikah, sudah barang tentu hal ini bukan hal
asing lagi bagi kehidupan kita, mulai dari anak apalagi dewasa dan orang tua. Namun
yang menjadi permasalahan tentunya adalah tentang motif seorang ingin menikah,
kalau hanya sekedar menikah adalah suatu urasan yang mudah tetapi untuk
mengekalkannya sesuatu hal yang cukup
sulit tapi bukan sesuatu hal yang mustahil. Perlu kita catat secara bersama
bahwa hukum nikah itu bisa menjadi sesuatu hal yang wajib, sunah dan haram. Artinya
bahwa ini harus dilihat dari kemampuan, motif dan kebutuhan yang ingin menikah
tersebut. Pertama, bisa menjadi wajib manakala seorang manusia sudah cukup
dalam kematangan usia, secara finansial atau ekonomi sudah mendukung, dan
secara ilmu, maupun psikologis sudah sangat mendukung dan membutuhkan, maka
orang seperti ini wajib hukumnya menikah, tidak ada lagi penundaan karena di
khawatirkan jika menunda untuk menikah justru jatuh kepada kefasikan atau dosa
yang tanpa kita sadari telah banyak terkumpul akibat hati, mata, dan pikiran atau
bahkan bisa jadi anggota tubuh yang lain telah lalai dan memanjakan imajinasi
dalam hal yang tidak baik atau dilarang oleh agama. Berikutnya yang kedua menikah
adalah sunah, jika seorang anak adam telah mampu, secara dzahir maupun bathin,
maka menikah adalah sebagai ladang penyempurnaan iman atau ibadah baginya, Rasulullah
saw menyampaikan dalam pesannya yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi
“Barang
siapa yang menghidupkan sunnahku berarti ia telah mencintaiku. Dan barang siapa
yang mencintaiku, ia akan bersamaku di surga”.
(Sunan, al-‘Ilm ‘an Rasulillah, 2602), dan
ath-Thabraniy (Mu’jam al-Ausath VI: 125; Mu’jam al-Shagir II: 102).
Termasuk menikah aadalah sunnah nya rasulullah saw, banyak hal yang di dapatkan
dengan menikah, termasuk kesempurnaan ibadah. Yang terakhir atau yang ketiga
adalah haram, haramnya menikah ini jika dikhawatirkan ada kebinasaan di
dalamnya, misalnya seseorang menikah dengan tujuan ingin mendzhalimi orang
lain, balas dendam, menularkan penyakit, dan lain-lain yang bersifat merusak.
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dimulai dari pencarian bibit, tentunya jika kita ingin mendapatkan keturunan yang baik maka kita juga harus mencari calon isteri yang baik, hal ini bukan hanya sekedar tuntutan tapi sejatinya seorang calon suami atau isteri jika ingin mendapatkan pendamping yang layak maka harus instropeksi diri, sebelum menuntut yang berlebihan kepada calon atau pasangan maka benahilah terlebih dahulu pribadi kita.
“Wanita-wanita
yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik
adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang
baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik.
(Qs. An Nur:26).
Dalam ayat tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa kita harus mencari yang lebih baik, dan ini adalah sesuatu hal yang logis, terlepasa dari suku, agama, dan strata sosial apapun manusianya ia pasti menginginkan sesuatu yang special dalam dirinya bahkan dalam kondisi kefasikan atau kejahatan sejkalipun ia berharap bahwa ia ingin berubah, ingin mempunyai keturunan yang baik, dan bahkan ingin mendapatkan calon yang tepat untuk menjadi pendamping dan anak bagi anak-anaknya. Isteri bukan hanya sebagai isteri tapi juga sekaligus sebagai ibu bagi anak, fatner dalam bekerja, trainier, inspirator, dan sahabat yang selalu setia mendengar. Itulah isteri sejati sesungguhnya. Isteri yang dapat menjadi penawar dan obat dalam duka, penyambung lidah dalam kehidupan sosialnya, ia dapat berinteraksi namun tetap menjaga kehormatan diri dan suaminya.
Banyak sebenarnya motif orang untuk menikah dalam mencari pasangan hidup, dan hal ini juga sudah banyak sekali di bahas dalam ilmu-ilmu fiqih. Persiapan yang di mulai dari pencarian dengan empat kriteria nabi melalui kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agamanya. Jika kita jujur sebenarnya banyak orang yang meninggalkan proses yang seharusnya di jalankan dalam meminta petunjuknya Allah SWT. Sejatinya bagi seorang muslim yang meletakkan nilai-nilai dan petunjuk Islam di dadanya harusnya munajat dengan istikharah, shalat dalam meminta petunjuk-Nya. Banyak di antara kita mengedepankan kecocokan secara fisik dan harta meninggalkan penelusuran tentang keturunan dan agamanya. Kenapa di katakan nikah itu menjadi ibadah yang sempurna, tiada lain orang yang menikah ini akan menjalankan roda kehidupan yang di cintai rasul, begitu banyak motivasi yang di sampaikan oleh baginda nabi Muhammad saw terkait dengan hal ini, karena pada dasarnya begitu banyak godaan dalam mengharungi kehidupan ini jika hanya di lakukan secara sendiri, dengan menikah hidup akan lebih concern, jauh dari maksiat, menyalurkan kebutuhan biologis sesuai fithrahnya, menjaga generasi, mendidik keturunan shaleh. Dan dari tanggung jawab itu Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk orang-orang yang menikah. Selanjutnya harus kita pahami menikah itu adalah satu di antara sekian amalan yang dilakukan para nabi dan raTidak ada seorang nabi pun yang diutus melainkan Allah SWT memberinya seorang isteri dan juga keturunannya. Firman-Nya:
“Dan Sesungguhnya Kami telah
mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri
dan keturunan.”(QS. ar-Ra’du: 38).
Imam
ath-Thabary dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Allah tidak menjadikan para nabi dan rasul seperti malaikat. Mereka makan, minum dan menikah serta memiliki keturunan. Ketika ada seseorang yang bertekad
untuk beribadah terus menerus dan tidak mau menikah, Rasulullah saw. menegurnya dan mengatakan:
“Demi Allah! Sesungguhnya aku adalah orang
yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kalian, akan
tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, aku menikahi
para wanita
siapa saja yang berpaling dari sunahku maka bukan golonganku.”(HR. Bukhari).
Hal yang juga perlu diketahui adalah dengan
menikah berarti kita harus siap untuk menerima perbedaan, menikah itu bukan
mempersempit budaya, bahkan dengan menikah justru kita mengetahui banyak hal,
banyak saudara, dan banyak peluang. Ketika orang mau menikah hanya dengan suku
dan kelompoknya saja, maka sama halnya ia sebenarnya mempersempit ruang lingkup
yang paling esensial dari menikah. Bahkan Allah SWT menyampaikan menikah dengan
berbangsa-bangsa, bersuku-suku, agar kita saling mengenal. Arti pernikahan itu
berarti menggabungkan dua perbedaan demi terwujudnya generasi, dan penyebaran
manusia secara utuh, mengakui perbedaan, membangun kerja yang harmoni, dan
saling menghargai dua individu, dua budaya, dan dua wilayah hingga bisa bekerja
sama dalam kehidupan sosialnya. Jika hanya keegoan dan kesukuan yang kita
pandang, akan merusak kekhalifahan sebagai pengelola bumi ini. Rasulullah saw menyampaikan kembali sabdanya: “Nikah
itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !” . (HR. Ibnu Majah, dari
Aisyah r.a.). Kemudian Allah SWT menyampaikan pesan diantara
hikmahnya nikah ini yaitu “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar. Ruum (30):21].
Memang ada pertimbangan
sendiri bagi orang yang ingin menikah hanya dengan satu suku tertentu saja, dan
ini tidak masalah sebenarnya, namun jika kita menggantungkan harapan kepada
Allah SWT, berusaha dan belajar akan arti perbedaan, dengan bijak mengambil
manfaat dari keberanekaan, ini tentunya jauh membawa hikmah. Perlu kita ketahui
bahwa para wali yang menyebarkan agama Islam sampai ke nusantara adalah tidak
elergi, menghormati kebudayaan dan bahkan menikahi wanita pribumi. Mereka menjadikan
perbedaan, sesuatu hal yang indah tanpa harus ada yang di benturkan. Indah menikah
dengan keilmuan, kearifan, dan pemahaman agama yang baik dalam kehidupan.
*Penulis adalah Alumni
Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
bagus gan infonya, keren
BalasHapussouvenir pernikahan murah
izin share yaa
BalasHapus