Oleh M. Hafidz Ghozali*
Bencana silih
berganti menimpa negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum, setiap pegantian
musim, selalu saja ada bencana yang menimpa bangsa ini. Setelah enam bulan lalu
mengalami kekeringan, kini masyarakat kita tengah dilanda banjir. Hampir di
setiap musim hujan, fenomena banjir seolah menjadi tradisi rutin dan terus
berulang dari tahun ke tahun di hampir seluruh penjuru Nusantara.Bencana ini
tentu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Tidak hanya harta benda tetapi
juga nyawa. Sebagai contoh, banjir yang melanda Jakarta selama 15-27 Januari
2013 lalu telah menyebabkan 41 jiwa meninggal dunia dan melahirkan pengungsi
yang mencapai 45.000 orang. Belum lagi, kerugian ekonomi akibat banjir tersebut
diprediksikan mencapai 20 triliun. Banjir di ibukota benar-benar merugikan
seluruh bangsa.
Indonesia adalah
negeri yang sangat riskan untuk dilanda banjir dan bencana lainnya, sebab
kondisi alam dan geografisnya memungkinkan hal itu. Menurut data dari Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI), 83 persen wilayah di Indonesia berpotensi banjir. Bahkan,
berdasarkan penghitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama
bulan Junuari 2013 telah terjadi 119 bencana. Data dari BNPB ini jelas
menyebutkan bahwa bencana yang terjadi pada awal tahun ini terkait erat dengan
pergantian musim di mana sekitar 96% kejadian bencana masih didominasi oleh
bencana hidrometeorologi seperti banjir (36 kali), tanah longsor (25 kali),
puting beliung (42 kali) dan gelombang pasang. Akibat bencana tersebut, 126
orang dinyatakan hilang dan meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi,
940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak ringan, dan
berbagai kerusakan fasilitas umum lainnya.
Memang benar
bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi adalah kehendak Allah.
“Tiada suatu
bencanapun yang menimpa dimuka bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab Allah (lauh Al Mahfuz) sebelum Kami
menciptakannya. Dan sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS.
Al-Hadid: 22).
Akan tetapi,
sebagai orang yang beriman dan berakal sehat, kita mesti melihat bahwa musibah
banjir yang telah menimpa bangsa kita bukanlah kejadian bencana alam semata
melainkan ada hubungan kausalitas yang menjadi sebab musababnya. Karena,
sesungguhnya berbagai kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia sebagaimana
firman Allah:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Ruum:
41).
Dalam konteks
ini, banjir terjadi karena ulah manusia yang telah melakukan penggundulan hutan
secara membabi buta sehingga menjadikan daya serap dan daya tampung tanah di
kawasan hulu terhadap air menurun. Data Forest Watch Indonesia tahun 2009
menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di
Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada 2009,
atau setara dengan sekitar 46,3% dari luas total daratan Indonesia. Selain itu,
perilaku masyarakat yang sangat tidak menghargai lingkungan alam khususnya
sungai, yakni dengan menjadikannya sebagai tempat sampah, juga turut andil
menyebabkan bencana banjir. Dalam hal ini, terjadinya banjir lebih dominan
diakibatkan oleh kesalahan dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungan alam
sebagaimana ditegaskan Firman Allah SWT:
“Dan apa
saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri
dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS.
As-Syura: 30).
Teologi
Bencana
Dalam perspektif
teologi bencana, agama kerap menjadi penjelas bagi manusia ketika terjadi
peristiwa-peristiwa yang mengagetkan, menghebohkan dan sulit dipahami atau
diterima kejadiannya, termasuk bencana. Maka, ketika bencana alam datang,
manusia akan segera mengaitkannya dengan sesuatu yang melampaui dirinya, suatu
kuasa yang lebih besar dari kuasanya, yaitu Tuhan. Dalam kaitan
itulah setidaknya ada dua pandangan teologis terkait dengan bencana, yaitu teologi
positif dan teologi negatif. Dalam teologi bencana
negatif, bencana dikaitkan dengan takdir dan azab Allah yang tidak mungkin
tertolak. Karena merupakan kehendak Tuhan, bencana tidak dapat dibantah.
Jangankan mendatangkan bencana alam ke suatu wilayah, Allah sebagai pencipta
alam semesta pun sangat mudah untuk menjadikan alam ini hancur lebur. Manusia
tidak dapat menghindar dari bencana atau musibah yang menimpanya.
Dalam teologi
bencana negatif, ayat kekuasaan Tuhan yang menjelaskan bahwa apapun bentuk
bencana yang terjadi di bumi sudah tertulis dalam rencana Tuhan yang Maha Tahu
sangat mendominasi. Lebih jauh lagi, bisa dikatakan bahwa bencana dalam
konteks teologi negatif merupakan cobaan, hukuman atau azab dari Tuhan
atas dosa dan kesalahan manusia yang sudah keterlaluan yang memang merupakan
kehendak-Nya yang wajar sebagai Tuhan. Pada akhirnya, dalam teologi
negatif ini ada kecenderungan manusia untuk menyalahkan diri sendiri
atas perilaku melampaui batas yang mereka lakukan, serta menyalahkan Tuhan yang
berkuasa atas segala sesuatu di muka bumi. Sementara itu
dalam teologi positif, bencana tidak dipandang sebagai kehendak Tuhan
semata. Teologi positif bencana mengarahkan manusia agar
tidak terkungkung pada sikap menyalahkan diri mereka sendiri atau menyalahkan
Tuhan tanpa diimbangi dengan pertimbangan rasional tentang apa sesungguhnya
yang menyebabkan terjadinya bencana dan bagaimana melakukan pencegahan terhadap
banyaknya korban atas setiap bencana. Sebaliknya, teologi positif
bencana mendorong manusia untuk mencoba memahami gejala alam sebagai sesuatu
yang berjalan berdasarkan hukum alam, sekaligus mencoba memahami apa kehendak
Tuhan dan apa yang telah mereka lakukan terhadap alam. Menurut teologi
positif, kombinasi antara pertimbangan rasional dengan teologis inilah
yang nantinya akan melahirkan sikap introspeksi terhadap apa yang terjadi,
sekaligus mencari jalan keluar atas terjadinya masalah.
Memang
demikianlah, setiap datangnya bencana hendaknya kita harus berpikir
instropketif bahwa itu tidak lepas dari perbuatan dan kesalahan kita dalam
mengelola alam. Krisis lingkungan yang kita perbuatlah yang menjadi penyebab
adanya berbagai bencana. Dalam konteks ini bisa dikatakan, perusakan
lingkungan, penebangan liar, illegal logging, eksploitasi properti alam secara
besar-besaran, dan segala tindakan merusak alam lainlah yang merupakan sumber
malapetaka serta bencana. Bencana alam
bukanlah sekedar sebuah takdir Tuhan, melainkan berkaitan erat dengan masalah
moral manusia yang tidak menghiraukan pentingnya pemeliharaan lingkungan dan
bahaya perusakan alam bagi kehidupan ekosistem manusia. Pada akhirnya, yang
kita butuhkan untuk menyudahi bencana adalah dengan menumbuhkan dan
mengembangkan kesadaran ekologis yang berperspektif teologis atau membangun
teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis.
Teologi
Lingkungan
Fenomena bencana
alam pada dasarnya tidak hanya sebatas sebuah gejala alam. Lebih dari
itu, bencana alam bisa menjelaskan banyak hal tentang problematika
lingkungan. Bencana alam sebenarnya mendeskripsikan segala masalah perilaku
manusia terhadap lingkungan. Bisa dikatakan bahwa masalah lingkungan
sesungguhnya memiliki kaitan dengan masalah moral dan perilaku manusia.
Kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana tidak bisa dilepaskan dari
perilaku manusia yang sangat eksploitatif dan tidak mengindahkan keseimbangan
lingkungan. Dalam kaitan
inilah nampak menjadi penting adanya sinergitas antara moral-agama dan
lingkungan dalam upaya menjaga keutuhan alam semesta ini. Teologi lingkungan
yang merefleksikan keseimbangan antara Tuhan, Alam dan Manusia ini pada
dasarnya dibutuhkan sebagai sandaran untuk menyadarkan masyarakat akan
pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Jadi, orang yang mengaku
beragama pasti cinta terhadap Tuhannya. Kecintaan terhadap Tuhan itu bisa
dimanifestasikan dengan mencintai segala makhluk dan benda yang ada di bumi.
Teologi
lingkungan tidak hanya menekankan pentingnya manusia meyakini akan wujud
atau eksistensi Allah SWT, tetapi juga harus memahami secara mendalam mandat khalifah
fil ardh manusia yang tugas pokoknya adalah memakmurkan kehidupan dunia
dan menjaga kelestarian alam. Dengan teologi lingkungan, manusia sebagai khalifatullah
akan mampu memahami secara menyeluruh tentang bagaimana seharusnya menempatkan
posisi dirinya di alam sehingga mampu menjaga kelestariannya. Dengan demikian,
antara aksi ibadah dan keharusan menjaga lingkungan sebagai tugas kekhalifahan
tidak akan terpisah di mana keduanya menjadi bagian dari suatu ibadah. Musibah yang
silih berganti menimpa negeri ini hendaknya menjadi momen untuk refleksi dan
introspeksi tentang petingnya menjaga lingkungan. Dalam hal ini, perspketif
teologi lingkungan sangat dibutuhkan sebagai pondasi dasar untuk menjalankan
misi kekhalifahan dengan mensinergikan antara tugas mencaga alam dan tugas
mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT sekaligus.
*
Penulis ialah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar