Laman

Rabu, 22 Januari 2014

ISLAM MEMANDANG BENCANA



Oleh M. Hafidz Ghozali*

Bencana silih berganti menimpa negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum, setiap pegantian musim, selalu saja ada bencana yang menimpa bangsa ini. Setelah enam bulan lalu mengalami kekeringan, kini masyarakat kita tengah dilanda banjir. Hampir di setiap musim hujan, fenomena banjir seolah menjadi tradisi rutin dan terus berulang dari tahun ke tahun di hampir seluruh penjuru Nusantara.Bencana ini tentu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Tidak hanya harta benda tetapi juga nyawa. Sebagai contoh, banjir yang melanda Jakarta selama 15-27 Januari 2013 lalu telah menyebabkan 41 jiwa meninggal dunia dan melahirkan pengungsi yang mencapai 45.000 orang. Belum lagi, kerugian ekonomi akibat banjir tersebut diprediksikan mencapai 20 triliun. Banjir di ibukota benar-benar merugikan seluruh bangsa.

Indonesia adalah negeri yang sangat riskan untuk dilanda banjir dan bencana lainnya, sebab kondisi alam dan geografisnya memungkinkan hal itu. Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), 83 persen wilayah di Indonesia berpotensi banjir. Bahkan, berdasarkan penghitungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama bulan Junuari 2013 telah terjadi 119 bencana. Data dari BNPB ini jelas menyebutkan bahwa bencana yang terjadi pada awal tahun ini terkait erat dengan pergantian musim di mana sekitar 96% kejadian bencana masih didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir (36 kali), tanah longsor (25 kali), puting beliung (42 kali) dan gelombang pasang. Akibat bencana tersebut, 126 orang dinyatakan hilang dan meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak ringan, dan berbagai kerusakan fasilitas umum lainnya.
Memang benar bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi adalah kehendak Allah.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa dimuka bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Allah (lauh Al Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Dan sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid: 22).

Akan tetapi, sebagai orang yang beriman dan berakal sehat, kita mesti melihat bahwa musibah banjir yang telah menimpa bangsa kita bukanlah kejadian bencana alam semata melainkan ada hubungan kausalitas yang menjadi sebab musababnya. Karena, sesungguhnya berbagai kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia sebagaimana firman Allah:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Ruum: 41).

Dalam konteks ini, banjir terjadi karena ulah manusia yang telah melakukan penggundulan hutan secara membabi buta sehingga menjadikan daya serap dan daya tampung tanah di kawasan hulu terhadap air menurun. Data Forest Watch Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada 2009, atau setara dengan sekitar 46,3% dari luas total daratan Indonesia. Selain itu, perilaku masyarakat yang sangat tidak menghargai lingkungan alam khususnya sungai, yakni dengan menjadikannya sebagai tempat sampah, juga turut andil menyebabkan bencana banjir. Dalam hal ini, terjadinya banjir lebih dominan diakibatkan oleh kesalahan dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungan alam sebagaimana ditegaskan Firman Allah SWT:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. As-Syura: 30).

Teologi Bencana
Dalam perspektif teologi bencana, agama kerap menjadi penjelas bagi manusia ketika terjadi peristiwa-peristiwa yang mengagetkan, menghebohkan dan sulit dipahami atau diterima kejadiannya, termasuk bencana. Maka, ketika bencana alam datang, manusia akan segera mengaitkannya dengan sesuatu yang melampaui dirinya, suatu kuasa yang lebih besar dari kuasanya, yaitu Tuhan. Dalam kaitan itulah setidaknya ada dua pandangan teologis terkait dengan bencana, yaitu teologi positif dan teologi negatif. Dalam teologi bencana negatif, bencana dikaitkan dengan takdir dan azab Allah yang tidak mungkin tertolak. Karena merupakan kehendak Tuhan, bencana tidak dapat dibantah. Jangankan mendatangkan bencana alam ke suatu wilayah, Allah sebagai pencipta alam semesta pun sangat mudah untuk menjadikan alam ini hancur lebur. Manusia tidak dapat menghindar dari bencana atau musibah yang menimpanya.

Dalam teologi bencana negatif, ayat kekuasaan Tuhan yang menjelaskan bahwa apapun bentuk bencana yang terjadi di bumi sudah tertulis dalam rencana Tuhan yang Maha Tahu sangat mendominasi. Lebih jauh lagi, bisa dikatakan bahwa bencana dalam konteks teologi negatif merupakan cobaan, hukuman atau azab dari Tuhan atas dosa dan kesalahan manusia yang sudah keterlaluan yang memang merupakan kehendak-Nya yang wajar sebagai Tuhan. Pada akhirnya, dalam  teologi negatif ini ada kecenderungan manusia untuk menyalahkan diri sendiri atas perilaku melampaui batas yang mereka lakukan, serta menyalahkan Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu di muka bumi. Sementara itu dalam teologi positif, bencana tidak dipandang sebagai kehendak Tuhan semata. Teologi positif bencana mengarahkan manusia agar tidak terkungkung pada sikap menyalahkan diri mereka sendiri atau menyalahkan Tuhan tanpa diimbangi dengan pertimbangan rasional tentang apa sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya bencana dan bagaimana melakukan pencegahan terhadap banyaknya korban atas setiap bencana. Sebaliknya, teologi positif bencana mendorong manusia untuk mencoba memahami gejala alam sebagai sesuatu yang berjalan berdasarkan hukum alam, sekaligus mencoba memahami apa kehendak Tuhan dan apa yang telah mereka lakukan terhadap alam. Menurut teologi positif, kombinasi antara pertimbangan rasional dengan teologis inilah yang nantinya akan melahirkan sikap introspeksi terhadap apa yang terjadi, sekaligus mencari jalan keluar atas terjadinya masalah.

Memang demikianlah, setiap datangnya bencana hendaknya kita harus berpikir instropketif bahwa itu tidak lepas dari perbuatan dan kesalahan kita dalam mengelola alam. Krisis lingkungan yang kita perbuatlah yang menjadi penyebab adanya berbagai bencana. Dalam konteks ini bisa dikatakan, perusakan lingkungan, penebangan liar, illegal logging, eksploitasi properti alam secara besar-besaran, dan segala tindakan merusak alam lainlah yang merupakan sumber malapetaka serta bencana. Bencana alam bukanlah sekedar sebuah takdir Tuhan, melainkan berkaitan erat dengan masalah moral manusia yang tidak menghiraukan pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya perusakan alam bagi kehidupan ekosistem manusia. Pada akhirnya, yang kita butuhkan untuk menyudahi bencana adalah dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berperspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis.

Teologi Lingkungan
Fenomena bencana alam pada dasarnya tidak hanya sebatas sebuah gejala alam. Lebih dari itu, bencana alam bisa menjelaskan banyak hal tentang problematika lingkungan. Bencana alam sebenarnya mendeskripsikan segala masalah perilaku manusia terhadap lingkungan. Bisa dikatakan bahwa masalah lingkungan sesungguhnya memiliki kaitan dengan masalah moral dan perilaku manusia. Kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana tidak bisa dilepaskan dari perilaku manusia yang sangat eksploitatif dan tidak mengindahkan keseimbangan lingkungan. Dalam kaitan inilah nampak menjadi penting adanya sinergitas antara moral-agama dan lingkungan dalam upaya menjaga keutuhan alam semesta ini. Teologi lingkungan yang merefleksikan keseimbangan antara Tuhan, Alam dan Manusia ini pada dasarnya dibutuhkan sebagai sandaran untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Jadi, orang yang mengaku beragama pasti cinta terhadap Tuhannya. Kecintaan terhadap Tuhan itu bisa dimanifestasikan dengan mencintai segala makhluk dan benda yang ada di bumi.

Teologi lingkungan tidak hanya menekankan pentingnya manusia meyakini akan wujud atau eksistensi Allah SWT, tetapi juga harus memahami secara mendalam mandat khalifah fil ardh manusia yang tugas pokoknya adalah memakmurkan kehidu­pan dunia dan menjaga kelestarian alam. Dengan teologi lingkungan, manusia sebagai khalifatullah akan mampu memahami secara menyeluruh tentang bagaimana seharusnya menempatkan posisi dirinya di alam sehingga mampu menjaga kelestariannya. Dengan demikian, antara aksi ibadah dan keharusan menjaga lingkungan sebagai tugas kekhalifahan tidak akan terpi­sah di mana keduanya menjadi bagian dari suatu ibadah. Musibah yang silih berganti menimpa negeri ini hendaknya menjadi momen untuk refleksi dan introspeksi tentang petingnya menjaga lingkungan. Dalam hal ini, perspketif teologi lingkungan sangat dibutuhkan sebagai pondasi dasar untuk menjalankan misi kekhalifahan dengan mensinergikan antara tugas mencaga alam dan tugas mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT sekaligus.

* Penulis ialah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar