Oleh Ibnu Syeirozi*
Oleh banyak
sejarawan, di antaranya Philip Khuri Hitti melalui bukunya History of the
Arabs (2008), imperium (khilafah) Abbasiyah disebut sebagai era keemasan
peradaban Timur. Bahkan secara agak hiperbolis, Baghdad yang dijadikan ibu
kotanya, oleh Marshal Hodgson dalam karya monumentalnya, The Venture of
Islam, disebut sebagai bintang cemerlang di semua gugus kota yang ada di
planet bumi saat itu. Baghdad kala itu layak disandingkan dengan kota
megapolitan modern seperti New York, Paris, dan London dalam peradaban Barat
kini.
Berbagai aspek
kehidupan umat mengalami titik kulminasi pada era itu. Salah satu aspek yang
dijadikan tolok ukur kejayaan sekaligus sebagai standar kesuksesannya adalah pencapaian
ilmu pengetahuan dan teknologinya. Berkuasa selama sekitar 5 abad, imperium ini
melahirkan sekian ribu penemuan, karya ilmiah, dan intelektual-intelektual
muslim di pelbagai bidang yang mashur. Kejayaan tersebut dibangun oleh 10
Khalifah pertama Abbasiyah.
Para Khalifah
tersebut menyadari betul bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci kejayaan peradaban
manusia. Secara normatif, Allah Swt sudah menggariskannya dalam Alquran
surat Al-Mujadalah ayat 11, “Yarfa’illahulladzina amanu minkum walladzina
utul ‘ilma darajat” (Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat). Ibnu Abbas RA
menafsirkan ayat tersebut dengan “Allah meninggikan para cendekiawan di atas
orang-orang yang beriman beberapa derajat.”
Secara faktual,
jika kita menengok situasi peradaban global kini di mana Barat menjadi “raja”,
kemajuan teknologi sebagai produk ilmu pengetahuan masyarakat Barat merupakan
penopang utamanya. Kejayaan ini berhulu pada gerakan renaisans (kebangkitan
budaya) yang melanda Eropa abad 15-16 M. Kelompok terdidik memelopori gerakan
sosial untuk menggali, mempelajari, dan memahami khazanah peradaban Yunani dan
Romawi kuno. Kala itu otoritas gereja teramat kuat membelenggu perkembangan
pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus tunduk dengan tafsir agama yang dimonopoli
gereja. Melalui penggalian khazanah klasik, masyarakat Eropa lantas didorong
melakukan berbagai riset dan observasi ilmiah. Benturan antara
ilmuwan dengan otoritas gereja pun tak terelakkan. Tak sedikit ilmuwan
diinkuisisi, diadili, bahkan sebagian harus menjemput ajal saat menjalani
hukuman penjara. Di antara mereka adalah Copernicus dan Galileo Galilei. Namun
upaya tersebut tak merontokkan gerakan Renaisans, sebaliknya justru
menguatkannya, hingga akhirnya bermuara pada reformasi agama.
Sementara pada
masa keemasan Abbasiyah, laju gairah keilmuan umat justru difasilitasi oleh
penguasa, salah satunya dengan pendirian perpustakaan, perguruan, sekaligus
biro penerjemahan bernama Baitul Hikmah. Sebagian sumber menyebut bahwa Baitul
Hikmah didirikan oleh Khalifah Harun Al Rasyid (berkuasa pada 786-809 M).
Sedangkan sumber lain menyatakan adalah Al Ma’mun putra Harun Al Rasyid
(813-833 M) yang menginisiasinya. Terlepas dari itu, sesungguhnya cikal bakal
gerakan intelektual dimulai oleh Abu Ja’far Al Manshur, Khalifah kedua
Abbasiyah dengan mengumpulkan manuskrip-manuskrip kuno untuk diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab (Raghib As Sirjani, 2009). Harun Al Rasyid
lantas mengembangkan tradisi intelektual tersebut lebih jauh melalui gerakan
penerjemahan naskah-naskah filsafat dan sains berbahasa Yunani, Persia,
Sansekerta, India, Suryaniyah, Nibtiyah, dan Qibtiyah ke dalam bahasa Arab.
Al-Rasyid dan Al-Ma’mun sangat mendukung inovasi dalam berbagai bidang keilmuan,
kesenian, dan kebudayaan. Melalui Baitul Hikmah, mereka mengundang para sarjana
Muslim dan non-Muslim untuk melakukan penelitian dan penerjemahan buku-buku
asing.
Budaya keilmuan
tumbuh subur kala itu. Ada banyak nama yang bisa disebut, misalnya Al-Biruni,
yang mendapat julukan al-Ustadz fil ‘ulum (guru berbagai ilmu). Ahli
matematika dan astronomi Nasiruddin at-Thusi yang memodifikasi model semesta
episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman
rotasi benda-benda langit. Al-Khawarizmi, pengarang kitab al-Gebra (al-jabar)
yang membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan bulan baru, terbit-terbenam
Matahari, dan waktu shalat.
Juga Ibnu Sina
(Avicena) yang mewakili dunia kedokteran dengan karya terbesarnya al-Qanun. Buku
ini berisi tata cara penyembuhan berbagai penyakit termasuk di dalamnya proses
pembedahan (operasi), yang hingga kini masih dijadikan rujukan utama oleh dunia
medis. Dalam bidang ini ada pula Jabir bin Hayyyan (wafat 778 M) yang dianggap
sebagai Bapak Ilmu Kimia. Al-Ghazali (1058 -1101 M) yang bergelar Hujjatul
Islam juga hidup di abad ini. Karya tulisnya berjumlah 70 judul meski
usianya hanya 55 tahun. Beragam bukunya antara lain al-Munqidh mi al-Dhalal
dan Ihya Ulumuddin masih menjadi bahan kajian di seluruh pesantren
tradisional Indonesia.
Bidang kesenian
juga tak diabaikan. Umat Islam kala itu terkenal dengan karya seni ukir dari
bahan kayu, porselin, perunggu, emas, loyang, perak, marmer, dan lainnya. Dalam
bidang sastra, satu novel mashur yang telah diterjemahkan ke dalam pelbagai
bahasa yakni Hikayat Alfu Lailah wa Lailah (Kisah Seribu Satu Malam)
yang agak erotis juga ditulis pada era Abbasiyah.
Ilmu pengetahuan
memang bukan faktor tunggal kejayaan imperium ini. Letak geografis yang
menguntungkan, stabilitas politik, dan kemakmuran ekonomi adalah faktor penting
lain. Secara geografis, kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad memang
strategis. Wilayah ini bertumpu pada pertanian dengan sistem irigasi dan kanal
di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir hingga teluk Persia. Baghdad juga
menjadi titik transit perdagangan antara wilayah Timur dengan Barat. Dalam hal
politik, Dinasti Abbasiyah memberikan kesempatan yang sama kepada semua klan
dan ras untuk menempati pos-pos penting pemerintahan. Pada masa Khilafah
Umawiyah, posisi tersebut hanya bisa diduduki oleh bangsawan Arab. Selain itu
dalam kehidupan sosial, mereka juga mengklaim lebih tinggi derajatnya ketimbang
masyarakat non Arab. Pada prinsipnya para Khalifah menerapkan sistem egaliter (musawah).
Dengan prinsip ini, warga leluasa melakukan aktivitas apa pun termasuk kegiatan
intelektual.
Kejayaan
tersebut tentu sangat menarik untuk diromantisasi sekarang di mana peradaban
Timur dalam posisi subordinat Barat. Cukup bisa dimaklumi jika ada kelompok
yang lantas memimpikan lagi berdirinya Khilafah Islam. Utopia tersebut tentu
absah asal dilakukan dengan koridor-koridor demokratis, bukan pertumpahan
darah. Tetapi bagi saya, perdebatan apakah khilafah merupakan hal yang urgen
dan wajib atau tidak, adalah sangat tidak substantif. Khilafah hanyalah
“kaleng” yang memang pada masa itu sudah tersedia, namun intisari kejayaannya
adalah perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan keluhuran moral pengelola
pemerintahan. Terhanyut dalam perjuangan khilafah yang utopis hanya
menghabiskan energi tanpa guna.
Komitmen negara
dan masyarakat sipil terhadap pengembangan sektor pendidikan dan inovasi
teknologi jauh lebih urgen dan substantif. Dulu Khalifah Al Ma’mun saat
melakukan gerakan pengumpulan dan penerjemahan naskah pengetahuan dari berbagai
bahasa rela mengeluarkan anggaran sebesar 300.000 Dinar (setara dengan sekitar
675 milyar rupiah sekarang). Ia banyak mengundang para penerjemah Kristen, di
antaranya Hunayn bin Ishaq yang terkenal mahir bahasa. Ia mendapatkan imbalan
emas seberat buku yang ia terjemahkan (Risa Rizania, Skripsi Sarjana Ilmu
Budaya UI, 2012).
Apa yang
dilakukan Al Ma’mun terhadap Hunayn sedikit mirip dengan Presiden Soeharto saat
mengajak BJ Habibie untuk kembali ke Indonesia dan mengimplementasikan ilmunya.
Berapa pun gaji yang diminta Habibie dipenuhi pemerintah. Habibie juga diberi
kesempatan luas untuk mengembangkan industri pesawat dalam negeri (IPDN) hingga
pada tahun 1995 mampu memproduksi pesawat terbang komersil N250 Gatotkaca.
Sayang industri tersebut lantas merosot drastis seiring lengsernya Soeharto.
Dalam hal
pendidikan, UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 memang sudah mengamanatkan bahwa
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen. Namun hingga APBN
tahun 2012, persentase tersebut belum tercapai. Belum lagi amanat itu terwujud,
disinyalir banyak mafia anggaran yang bermain di tubuh pemerintah dan parlemen
hingga anggaran yang belum optimal tersebut kerap tersunat. Walhasil, jika
Indonesia ingin -sedikit- meniru kejayaan Abbasiyah, komitmen negara dan
keluhuran moral penyelenggaranya dalam penganggaran pendidikan dan pengembangan
teknologi mutakhir adalah keniscayaan mutlak. Tanpa itu adalah pepesan kosong.
*Penulis adalah
Alumni Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar