Laman

Senin, 13 Januari 2014

Ilmu Pengetahuan: Kunci Kejayaan Peradaban


Oleh Ibnu Syeirozi* 


Oleh banyak sejarawan, di antaranya Philip Khuri Hitti melalui bukunya History of the Arabs (2008), imperium (khilafah) Abbasiyah disebut sebagai era keemasan peradaban Timur. Bahkan secara agak hiperbolis, Baghdad yang dijadikan ibu kotanya, oleh Marshal Hodgson dalam karya monumentalnya, The Venture of Islam, disebut sebagai bintang cemerlang di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu. Baghdad kala itu layak disandingkan dengan kota megapolitan modern seperti New York, Paris, dan London dalam peradaban Barat kini.

Berbagai aspek kehidupan umat mengalami titik kulminasi pada era itu. Salah satu aspek yang dijadikan tolok ukur kejayaan sekaligus sebagai standar kesuksesannya adalah pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologinya. Berkuasa selama sekitar 5 abad, imperium ini melahirkan sekian ribu penemuan, karya ilmiah, dan intelektual-intelektual muslim di pelbagai bidang yang mashur. Kejayaan tersebut dibangun oleh 10 Khalifah pertama Abbasiyah.

Para Khalifah tersebut menyadari betul bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci kejayaan peradaban manusia. Secara normatif, Allah Swt sudah menggariskannya  dalam Alquran surat Al-Mujadalah ayat 11, “Yarfa’illahulladzina amanu minkum walladzina utul ‘ilma darajat” (Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat). Ibnu Abbas RA menafsirkan ayat tersebut dengan “Allah meninggikan para cendekiawan di atas orang-orang yang beriman beberapa derajat.”

Secara faktual, jika kita menengok situasi peradaban global kini di mana Barat menjadi “raja”, kemajuan teknologi sebagai produk ilmu pengetahuan masyarakat Barat merupakan penopang utamanya. Kejayaan ini berhulu pada gerakan renaisans (kebangkitan budaya) yang melanda Eropa abad 15-16 M. Kelompok terdidik memelopori gerakan sosial untuk menggali, mempelajari, dan memahami khazanah peradaban Yunani dan Romawi kuno. Kala itu otoritas gereja teramat kuat membelenggu perkembangan pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus tunduk dengan tafsir agama yang dimonopoli gereja. Melalui penggalian khazanah klasik, masyarakat Eropa lantas didorong melakukan berbagai riset dan observasi ilmiah. Benturan antara ilmuwan dengan otoritas gereja pun tak terelakkan. Tak sedikit ilmuwan diinkuisisi, diadili, bahkan sebagian harus menjemput ajal saat menjalani hukuman penjara. Di antara mereka adalah Copernicus dan Galileo Galilei. Namun upaya tersebut tak merontokkan gerakan Renaisans, sebaliknya justru menguatkannya, hingga akhirnya bermuara pada reformasi agama.

Sementara pada masa keemasan Abbasiyah, laju gairah keilmuan umat justru difasilitasi oleh penguasa, salah satunya dengan pendirian perpustakaan, perguruan, sekaligus biro penerjemahan bernama Baitul Hikmah. Sebagian sumber menyebut bahwa Baitul Hikmah didirikan oleh Khalifah Harun Al Rasyid (berkuasa pada 786-809 M). Sedangkan sumber lain menyatakan adalah Al Ma’mun putra Harun Al Rasyid (813-833 M) yang menginisiasinya. Terlepas dari itu, sesungguhnya cikal bakal gerakan intelektual dimulai oleh Abu Ja’far Al Manshur, Khalifah kedua Abbasiyah dengan mengumpulkan manuskrip-manuskrip kuno untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Raghib As Sirjani, 2009). Harun Al Rasyid lantas mengembangkan tradisi intelektual tersebut lebih jauh melalui gerakan penerjemahan naskah-naskah filsafat dan sains berbahasa Yunani, Persia, Sansekerta, India, Suryaniyah, Nibtiyah, dan Qibtiyah ke dalam bahasa Arab. Al-Rasyid dan Al-Ma’mun sangat mendukung inovasi dalam berbagai bidang keilmuan, kesenian, dan kebudayaan. Melalui Baitul Hikmah, mereka mengundang para sarjana Muslim dan non-Muslim untuk melakukan penelitian dan penerjemahan buku-buku asing.

Budaya keilmuan tumbuh subur kala itu. Ada banyak nama yang bisa disebut, misalnya Al-Biruni, yang mendapat julukan al-Ustadz fil ‘ulum (guru berbagai ilmu). Ahli matematika dan astronomi Nasiruddin at-Thusi yang memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Al-Khawarizmi, pengarang kitab al-Gebra (al-jabar) yang membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan bulan baru, terbit-terbenam Matahari, dan waktu shalat.
Juga Ibnu Sina (Avicena) yang mewakili dunia kedokteran dengan karya terbesarnya al-Qanun. Buku ini berisi tata cara penyembuhan berbagai penyakit termasuk di dalamnya proses pembedahan (operasi), yang hingga kini masih dijadikan rujukan utama oleh dunia medis. Dalam bidang ini ada pula Jabir bin Hayyyan (wafat 778 M) yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kimia. Al-Ghazali (1058 -1101 M) yang bergelar Hujjatul Islam juga hidup di abad ini. Karya tulisnya berjumlah 70 judul meski usianya hanya 55 tahun. Beragam bukunya antara lain al-Munqidh mi al-Dhalal dan Ihya Ulumuddin masih menjadi bahan kajian di seluruh pesantren tradisional Indonesia.

Bidang kesenian juga tak diabaikan. Umat Islam kala itu terkenal dengan karya seni ukir dari bahan kayu, porselin, perunggu, emas, loyang, perak, marmer, dan lainnya. Dalam bidang sastra, satu novel mashur yang telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa yakni Hikayat Alfu Lailah wa Lailah (Kisah Seribu Satu Malam) yang agak erotis juga ditulis pada era Abbasiyah.

Ilmu pengetahuan memang bukan faktor tunggal kejayaan imperium ini. Letak geografis yang menguntungkan, stabilitas politik, dan kemakmuran ekonomi adalah faktor penting lain. Secara geografis, kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad memang strategis. Wilayah ini bertumpu pada pertanian dengan sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir hingga teluk Persia. Baghdad juga menjadi titik transit perdagangan antara wilayah Timur dengan Barat. Dalam hal politik, Dinasti Abbasiyah memberikan kesempatan yang sama kepada semua klan dan ras untuk menempati pos-pos penting pemerintahan. Pada masa Khilafah Umawiyah, posisi tersebut hanya bisa diduduki oleh bangsawan Arab. Selain itu dalam kehidupan sosial, mereka juga mengklaim lebih tinggi derajatnya ketimbang masyarakat non Arab. Pada prinsipnya para Khalifah menerapkan sistem egaliter (musawah). Dengan prinsip ini, warga leluasa melakukan aktivitas apa pun termasuk kegiatan intelektual.

Kejayaan tersebut tentu sangat menarik untuk diromantisasi sekarang di mana peradaban Timur dalam posisi subordinat Barat. Cukup bisa dimaklumi jika ada kelompok yang lantas memimpikan lagi berdirinya Khilafah Islam. Utopia tersebut tentu absah asal dilakukan dengan koridor-koridor demokratis, bukan pertumpahan darah. Tetapi bagi saya, perdebatan apakah khilafah merupakan hal yang urgen dan wajib atau tidak, adalah sangat tidak substantif. Khilafah hanyalah “kaleng” yang memang pada masa itu sudah tersedia, namun intisari kejayaannya adalah perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan keluhuran moral pengelola pemerintahan. Terhanyut dalam perjuangan khilafah yang utopis hanya menghabiskan energi tanpa guna.
Komitmen negara dan masyarakat sipil terhadap pengembangan sektor pendidikan dan inovasi teknologi jauh lebih urgen dan substantif. Dulu Khalifah Al Ma’mun saat melakukan gerakan pengumpulan dan penerjemahan naskah pengetahuan dari berbagai bahasa rela mengeluarkan anggaran sebesar 300.000 Dinar (setara dengan sekitar 675 milyar rupiah sekarang). Ia banyak mengundang para penerjemah Kristen, di antaranya Hunayn bin Ishaq yang terkenal mahir bahasa. Ia mendapatkan imbalan emas seberat buku yang ia terjemahkan (Risa Rizania, Skripsi Sarjana Ilmu Budaya UI, 2012).

Apa yang dilakukan Al Ma’mun terhadap Hunayn sedikit mirip dengan Presiden Soeharto saat mengajak BJ Habibie untuk kembali ke Indonesia dan mengimplementasikan ilmunya. Berapa pun gaji yang diminta Habibie dipenuhi pemerintah. Habibie juga diberi kesempatan luas untuk mengembangkan industri pesawat dalam negeri (IPDN) hingga pada tahun 1995 mampu memproduksi pesawat terbang komersil N250 Gatotkaca. Sayang industri tersebut lantas merosot drastis seiring lengsernya Soeharto.             

Dalam hal pendidikan, UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 memang sudah mengamanatkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen. Namun hingga APBN tahun 2012, persentase tersebut belum tercapai. Belum lagi amanat itu terwujud, disinyalir banyak mafia anggaran yang bermain di tubuh pemerintah dan parlemen hingga anggaran yang belum optimal tersebut kerap tersunat. Walhasil, jika Indonesia ingin -sedikit- meniru kejayaan Abbasiyah, komitmen negara dan keluhuran moral penyelenggaranya dalam penganggaran pendidikan dan pengembangan teknologi mutakhir adalah keniscayaan mutlak. Tanpa itu adalah pepesan kosong.

*Penulis adalah Alumni Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar