Laman

Rabu, 08 Januari 2014

Sebuah Kesadaran Politik Dalam Berbangsa



 


Oleh: Rahmat Kurnia Lubis*

Masyarakat madani yang dicontohkan oleh nabi Saw pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja, kelompok dan suku, seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang negara. Meskipun secara eksplisit Islam tidak berbicara tetang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tecermin dalam prinsip persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia serta prinsip musyawarah. Adapun langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh nabi pada masa pembangunan masyarakat madani adalah dengan terwujudnya Piagam Madinah. Teks Piagam Madinah ini kurang lebih mencakup 47 pasal, inilah yang oleh Ibnu Hisyam disebut sebagai undang-undang dasar negara dalam pemerintahan Islam yang pertama, yang sukses mempersatukan beberapa golongan, suku, budaya, agama dalam rumpun yang satu yakni Madinah. 

Pada dasarnya proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara merupakan sejatinya jiwa politik. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik  Aristoteles)
  2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara 
  3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat 
  4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
           Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik. Ada kecenderungan bahwa konflik-konflik intelektual yang besar sepanjang sejarah manusia berlangsung menurut oposisi biner (dua posisi utama yang saling bertubrukan). Persoalan-persoalan besar membelah umat manusia kedalam dua kutub. Dalam perang-perang agama selalu mengaitkan kepercayaan dan aliran, Iman berhadapan dengan rasio, pada periode belakangan liberalisme bersaing dengan sosialisme pilihan-pilihan skismatis yang lebih tentu saja ada, dan dengan sendirinya masing-masing bersekutu menjadi bagian-bagian dari pilihan yang lebih besar. Oportunisme politik akan menjurus kepada hubungan yang aneh dan taktis, garis doktrinal maupun politik dapat menjadi sangat rumit. Dari semua ini, selalu saja ada satu isu sentral yang cenderung mendominasi situasi hingga politik bagi sebagian masyarakat hanya alat untuk memperkaya individu, golongan dan menguntungkan sebagian pihak saja. 

Studi filsafat politik kontemporer membuktikan bahwa landasan nilai dalam kehidupan politik justru lebih kompleks dari pada apa yang semula disangkakan. Dengan kata lain, landasan nilai utama dalam kehidupan politik mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, seperti yang terlihat dalam karya filsuf-filsuf kontemporer seperti John Rawls (kesepakatan kontrak), kaum komunitarian (kebaikan bersama), kaum utilitarian (kemanfaatan), Ronarld Dworkin (hak) atau kaum Feminisme (androgini). Kenyataan ini menjelaskan bahwa filsafat politik harus menerima keharusan memadukan berbagai pandangan yang paling relevan, ketimbang mengharapkan satu pendapat untuk memberikan petunjuk yang komprehensif. Harusnya kita bisa mencoba memeriksa kebenaran pandangan tentang apakah landasan yang dapat menyelesaikan pertentangan di antara berbagai kepentingan yang ada, seperti yang misalnya telah dimulai oleh Ronald Dworkin. Menurut Dworkin, semua teori politik sesungguhnya memiliki landasan nilai yang sama yaitu persamaan (equality), jadi semuanya merupakan teori egalitarian. Dengan teori egalitarian yang dimaksudkan adalah bukan teori yang mendukung distribusi pendapat secara merata, tetapi merupakan gagasan untuk memperlakukan orang secara sama.

Kita hidup dalam suatu sistem dimana terkadang jarak antara kata dan perbuatan terasa semakin jauh, ada jurang yang menganga semakin lebar antara cita-cita dan realitas. Tifikal kekuasaan yang hegemonik diterapkan sebagai bentuk strategi untuk meraih kekuasaan oleh para penguasa. Sejarah politik klasik mengisyaratkan bahwa kekuasaan lahir dari ketidak mungkinan individu mengatur diri sendiri akibat saratnya kepentingan yang berbenturan. Jika pemikiran politik modern menyadari bahwa kekuasaan dalam bentuk negara diperlukan untuk membina kehidupan individu, maka kondisi ideal negara adalah perpanjangan tangan kekuasaan rakyat. Bukan sebaliknya tarik menarik kekuasaan yang terkadang membuat akal kita menjadi lumpuh, kehidupan demokratis kita menjadi tidak sehat. Belajar dari hal ini maka kita harus menyadari sepenuhnya “betapa tidak sempurnanya buatan manusia, keterbatasan manusia harus di rangkai dengan kebersamaan dalam mengembangkan pikiran kreatif yang peduli kepada rakyat. Sejak orang membuat aturan bukan berarti sejak saat itu dengan mudah merubah masyarakat atau selesailah persoalan, akan tetapi sejak saat itu pula persoalan baru akan timbul.

Dengan adanya sebuah lembaga yang legal, wajar dan formal, seperti halnya legislatif, kemudian pihak eksekutif dan yudikatif yang tidak buta dengan sisi-sisi kebenaran dan kemanusiaan yang dikawal oleh panggung demokrasi oleh lembaga konstitusi juga mereka yang terdiri dari komponen masyarakat yang cukup beragam,  menghilangkan keegoan, merelatifitaskan sebuah pandangan dan memberikan ruang jernih dengan niatan kebaikan, akan menjadi tonggak awal sebuah kemajuan dan peradaban. Ketika membaca sepintas tentang kerangka filosofis dari sebuah gerakan politik dan tentang apa yang kemudian didikuskusikan secara bersama maka kita harus menyadari bahwa banyak sekali dari pokok-pokok pikiran politik itu sendiri yang layak untuk kita ketengahkan demi sebuah kemaslahatan yang lebih besar. Memang pada dasarnya tidak setiap kelompok dapat mengcover permasalahan manusia apalagi negara yang didalamnya kehidupan plural berjalan, namun ada sebuah catatan bagi kita bahwa kerelativan manusia yang menghilangkan absolutismenya, mengikuti aturan dan prosedural hukum merupakan kesadaran dan langkah politik terbaik dari seorang negarawan. 

Terakhir yang ingin penulis sampaikan adalah, dari berbagai macam partai, elemen, gerakan, budaya dan agama, marilah kita menyatukan pikiran cerdas, dengan satu niat mulia yaitu membangun kehidupan yang lebih bermartabat, harus kita sadari bahwa politik hanyalah jalan untuk berdiplomasi dalam mengambil peran berfastabiqul khairat¸ karena dengan jiwa yang ego dan kepentingan individualis hanya akan memperkeruh suasana, menciptakan permusuhan, dan dendam baru, serta gerakan secara sendiri-sendiri yang tidak patuh kepada aturan berlaku. Hal ini hanya menyisakan kekecewaan bathin yang tidak berkah, karena sesungguhnya niatan politik dalam negara yang mulia adalah Darussalam (negara yang aman) dan penuh keberkahan. Kita pelihara apa yang sudah ada, kita diskusikan apa yang lebih manfaat, kita jalankan roda hukum kehidupan, dan bukan karena golongan dan keserakahan tapi karena kita memang punya niat memerdekakan kebodohan, kemiskinan, mewujudkannya lebih bermartabat sesuai dengan cita dan niatan UUD 1945 maupun Pancasila. Kita harus menemukan akar permasalahan, tidak saling menyalahkan tapi bergandengan tangan.

*Penulis adalah alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar