Laman

Minggu, 26 Januari 2014

Dakwah Kultural: Media Pengajaran Islam yang Plural dan Bijaksana


Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
 
Wakil Ketua Ikatan Italian Islamic Religious Community sekaligus ketua dewan ISESCO (Islamic Education Scientific, and Culture Organization) Eropa, Yahya Sergio Yahe Pallavicini, mengatakan, cara  yang dilakukan oleh Indonesia sejak ratusan tahun lalu untuk menyebarkan Islam sangat menarik. Dalam menyebarkan agama Islam, orang Indonesia menggunakan pendekatan budaya. “Ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang bijak, bisa melakukan pendekatan terhadap orang yang belum Islam melalui cara budaya lokal. Hal ini memberikan kesan positif di mata orang yang belum memeluk agama Islam, bahwa memang Islam bisa bergandengan tangan dengan budaya lokal yang ada. Inilah hal yang sangat di perlukan di wilayah Eropa khususnya penyebaran Islam di Italia kata Yahya di sela acara Konferensi Islam Khusus Menteri Kebudayaan yang di selenggarakan oleh ISESCO di Madinah, Arab Saudi. Menurut Muhammad Nuh (menteri pendidikan dan kebudayaan RI) menyatakan bahwa orang sering terjebak di ekspresi atau hanya tampilan kulit luarnya saja. Perbedaan Islam yang masuk antara penyebaran budaya Islam Spanyol dan Indonesia adalah bahwa ketika masuknya agama ini ke Cordova seluruh kebudayaan lokal di hapus tradisinya. Yang tersisa hanya bangunan fisiknya saja. Berbeda dengan di Indonesia yang penyebarannya melalui ke arifan dan menghargai perbedaan. Perlu kita ketahui, begitu Islam dikalahkan dari bumi Averroes (Ibn Rusyd) tersebut, maka sisa-sisa ajaran Islam pun di berangus. Ibaratnya, kalau orang yang berkuasa melalaui kudeta, nanti kalau jatuhnya juga dengan kudeta”.

Oleh karena itu, pendekatan Islam yang oleh tokoh sufi, wali songo dan pendakwah Islam di nusantara adalah pendekatan yang sangat dinamis sekali dengan situasi dan zaman ketika itu, pendekatan tauhid (tauhid approach) yang kemudian harus menyatu dengan aspek budaya dan peradaban tidak berarti menghendaki penyeragaman paham yang serba tunggal, tetapi bagaimana satuan elemen peradaban dan budaya dapat berjalin secara integral, dan menjalin bubungan interkonektif, sehingga elemen satu sama lain saling melengkapi untuk mewujudkan kehidupan bersama demi cita-cita terbentuknya peradaban utama. Dakwah yang bijak. Dilakukan dengan kalimat santun,. Melihat objek dakwah atau siapa yang kita dakwahi, kapan dan dimana kita melakukan aktifitas dakwah tersebut. Dakwah harus mampu dan menjadi bagian dari usaha untuk menjadikan dirinya sebagai rahmatan li al-alamin, yang membawa kesejahteraan hidup manusia, dan semua yang ada di alam semesta. Disini dapat dibuktikan bahwa visi dakwah yang berlandaskan tauhid tersebut sesungguhnya tidak berlawanan dengan perubahan itu sendiri. Karena dakwah merupakan pandangan teologis yang di anjurkan oleh Allah SWT, yang dapat di implementasikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, sosial, ekonomi, budaya, yang pada dasarnya membawa semangat kemanusiaan, peradaban, dan ilahiyah. 

Visi Keberagamaan, keberislaman, tauhid, dan dakwah yang penuh hikmah ini juga selaras dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 dan UUSPN No 20 tahun 2003. Dalam UUSPN 1989 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan, “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dakwah yang perlu kita pahami seharusnya tidak sebatas tekstual an sich yang hanya memaparkan metode ceramah dengan memaparkan materi kajian ilmu di masjid atau di tempat-tempat majelis dan selanjutnya para pendengar diam dengan berasumsi sami’na wa atha’ma (kami dengar dan kami taati). Dakwah itu sangat luas untuk memberikan pengajaran baik melalui lisan dan hal/kelakuan, sehingga metode dan coraknya juga tentunya akan sangat beragam. Bahkan bila perlu sebenarnya juru dai itu harus banyak belajar dengan gaya hidup modernitas, dimana para penceramah harus mampu menjadikan suasana hidup dalam ruangan, tidak terkesan monoton alias membuat para jamaah mengantuk, apalagi materi yang disuguhkan hanya itu-itu saja.

Dakwah kultural adalah dengan menjaga tradisi lokal, bila kita ingin mencoba mengeksplorsikan dakwah nabi Muhammad saw tentang keberhasilan yang di raih dengan mewujudkan agama ini di terima berbagai lapisan penjuru dunia dari jazirah Arab bahkan sampai ke Indonesia saat ini, maka tiada lain dengan menghormati kebudayaan dan peradaban yang ada. Nabi Muhammad saw mengetahui bahwa Cina saatnya akan menjadi pusat pengetahuan, ekonomi, teknologi yang cukup maju, sehingga dalam sabdanya ilmu itu bahkan harus di raih sampai ke negeri tersebut. Itu merupakan penghormatan terhadap kebudayaan yang notabene bukan negara Islam, Rasulullah memberikan rekomendasi untuk penggiat ilmu menuju daerah tirai bambu tersebut.  Pengembangan Islam juga di sampaikan sebisa mungkin untuk tidak melukai perasaan dan peradaban apalagi sampai menumpahkan darah, dakwah rasul di mulai dengan dakwah rahasia, setelah pengikutnya banyak kemudian baru di beralih dengan dakwah terbuka, yang tetap memberikan kebebasan untuk memilih dan agar tetap damai dan saling bertoleransi. Hal ini di buktikan dengan ayatnya Allah SWT berbunyi lakum dinukum waliyadin. Dalam urusan keduniawian kanjeng Nabi tetap memberikan kebebasan untuk memilih cara yang tepat karena sejatinya kita sendirilah yang paling mengetahui hal tersebut. Rasulullah hanya menanamkan suatu hal yang paling esensial yaitu ketauhidan terhadap Allah SWT, dan mengajarkannya dengan bijaksana, konsep tauhid harus mampu menjadi landasan setiap aktifitas untuk tetap menjadikan Allah SWT sebagai spirit untuk perubahan dan kebaikan.  

Jika kita ingin lebih konkrit, tentunya kita harus mampu merefleksikan sejarah tentang bagaimana kanjeng Sunan Kalijaga menghargai kebudayaan, tradisi saat itu bukanlah penghalang untuk bertauhid, bila wayang dan pakaian adat yang menjadi tradisi memang tidak berseberangan dengan agama itu sendiri justru hal tersebut merupakan alat untuk meletakkan dasar keberagamaan di tengah masyarakat pulau Jawa ketika itu, kanjeng Sunan Kalijaga, menanamkan tauhid dan syahadat dalam tradisi wayang budaya setempat, bahkan dimana ketika para wali banyak memakai jubah dan pakaian ala Arab justru ia memakai pakaian lengkap dengan blangkon Jawa. Seorang wali, seorang nabi dan rasul yang mengetahui psikologis dan cara-cara penduduk setempat akan lebih bijak memutus dan menetapkan perkara, sebagaimana rasul jika ada orang yang bertanya tentang sesuatu hal terkait amalan shaleh maka ia akan menjawab sesuai dengan kebutuhan sahabat tersebut, ada kalanya rasul menyampaikan dengan berbaikti kepada kedua orang tua, jika yang datang adalah orang yang sedikit renggan dengan orang tuanya, di lain waktu di sampaikan jihad yang palinga mulia adalah menuntut ilmu, jika kebetulan orang yang datang adalah orang yang lemah atau malas dalam mencari ilmu, bisa jadi di katakan oleh rasulullah bahwa amalan paling mulia adalah bersedekah atau jihad ke medan perang jika di hadapan rasul tersebut orang yang malas mengeluarkan harta atau yang enggan mengeluarkan zakat.

Kultur bisa menjadi kebiasaan masyarakat setempat atau bisa menjadi kebiasaan individu yang harus di baca, itulah kearifan yang harus di kembangkan untuk memulai sebuah keberhasilan, dalam organisasi Muhammadiyah dalam pendiriannya Ahmad Dahlan juga menyerap budaya modernitas dengan memakai jaz, dasi, dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan agar umat tidak jenuh, dan tertinggal. Ini adalah sebuah pencapaian yang visioner, orang tidak elergi terhadap ajaran agama ini, orang tidak asing dengan Islam ini, karena kita mendakwahkan atau datang dengan cara yang sesuai dengan semangat zaman.  Al Quran secara tegas menyatakan “Katakanlah wahai semua penganut agama (dan Kebudayaan) bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu”, (QS. Ali Imran 3:64). Ayat ini merupakan landasan dalam merajut keberagaman budaya dalam kesatuan dan kebersamaan untuk dapat berjumpa secara dialogis-inklusif.

Keragaman umat manusia merupakan sunatullah yang semestinya mendorong terciptanya relasi antar manusia yang penuh pengertian dan pemahaman satu sama lain. Kita sebagai umat beragama seperti di gariskan oleh Allah SWT tersebut harus menjadi pewarta kebangsaan, kebhinnekaan dan perdamaian yang hidup rukun dengan semangat tauhid sebagai landasannya. Tauhid bukan hanya sebatas pengakuan terhadap Allah SWT, penghormatan terhadap makhluk-Nya sama hal nya kita telah menghormati penciptanya yaitu Rabb Semesta ini. Maka alam, dan segala isinya harus kita jaga, dan menjalankan dakwah ahrus dengan bijak tanpa harus memaksakan kehendak saja. Tafakkaru

*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana Prodi Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar