Laman

Senin, 27 Januari 2014

Menghargai Perbedaan dan Tetap Santun Dalam Berhujjah.

Oleh :Rahmat Kunria Lubis *
Setiap manusia mempunyai pemikiran, dan setiap pemikiran itu tentu nya berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman nya, satu hal yang membuat gelombang dakwah dan keberIslaman itu bisa diterima di berbagai tempat di penjuru dunia ini adalah karena ia merupakan agama yang sangat menghormati, dan tidak memberangus kebudayaan, apalagi melarang sesuatu hal yang sifatnya kebaikan demi untuk tercipta nya pemikiran-pemikiran baru, dan dalam hal ibadah sering di kait-kaitkan oleh sebagian orang bahwa perbedaan khasanah dan ritual yang tidak ada di masa rasulullah secara otomatis menjadi kesalahan fatal yang harus di bumi hangus kan. Hal ini tentu nya perlu kita pikirkan jika kita memang cinta terhadap Islam ini. Agama ini lahir dengan sebuah kesadaran bahwa ia bukan hanya sebatas ritual yang harus di perdebatkan tapi hal yang jauh lebih penting dari pada itu adalah bagaimana hubungan vertikal dengan Allah SWT dan horizontal sesama manusia terjalin hubungan nya dengan baik. Inilah sesungguhnya esensial keberIslaman tanpa mencoba menghakimi pikiran, dan seolah hanya pikiran kitalah yang paling afdhal dan serta merta menafikan pendapat orang lain.
 
Dalam lintasan sejarah selalu ada golongan yang merasa paling shahih ijtihad nya, sehingga pemikirannya seolah sesuatu hal yang harus di paksakan untuk kebudayaan, pikiran dan keyakinan orang lain, hal yang lebih parah lagi kemudian adalah adanya beberapa pihak tertentu yang dengan serta merta untuk menabur kebencian terhadap orang yang berbeda dengan nya justru merekayasa/menunggangi pemikiran orang yang di hujatnya, tidak jarang orang yang menjadi bulan-bulanan nya sebagai tokoh kafir atau musuh Allah SWT di interpretasi dengan pikiran nya sendiri tanpa harus melakukan cros chek atau tabayyun sebagai langkah awal mengetahui maksud dan pikiran orang yang berbeda tersebut dengan nya. Selain itu, diantara orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam beragama ini adalah, melepas tanggung jawab untuk melakukan klarifikasi, seseorang yang dalam dirinya sudah menaruh sentimen alias negatif atau berburuk sangka kepada orang lain tanpa merasa beban atau dosa justru memperburuk dialog yang tidak sehat dengan menyalah artikan pemikiran orang lain, mungkin karena terlalu tidak suka dengan pendapat yang berkembang atau juga ingin eksistensi nya mendapat sebuah pengakuan, maka ia melakukan pembohongan publik dengan menyatakan pernyataan-pernyataan yang salah dari orang lain, membuka aib, atau barang kali mengadakan sesuatu hal yang tidak ada, atau sebaliknya meniadakan sesuatu hal yang ada.

Inilah realitas yang harus kita sadari dan kita perbaiki secara bersama, sejak manusia ini ada, dan sejak Allah SWT menciptakan surga dan neraka maka akan selalu ada penggoda, tidak cukup hanya sekedar penggoda bahkan menabuh gendang kebencian dan keberingasan menjadi sesuatu hal yang menghias berita. Pernahkah kita menyadari bahwa kita menginginkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu tercipta bukan hanya untuk khalayak muslim saja, tapi untuk seluruh alam semesta, ini artinya jika keberagamaan Islam saja untuk pemeluknya menjadi pemantik arogansi yang hanya menuntut keakuan “keegoan” maka konon bagaimanakah kepada orang yang berlainan agama dengan Islam itu sendiri, Islam itu menjaga persatuan, menghargai pemikiran, dan bahkan dengan tegas rasulullah saw, memberikan jaminan dan garansi bagi pemeluk agama lain, hal ini kita bisa lihat dalam penegakan Madinah al Munawarah dengan Piagam Madinah sebagai konstitusinya. Kita juga bisa melihat rentang sejarah yang terjadi di Tahun 16 H / 632 M , Khalifah Umar ibn Khaththab mengirim pasukan ke negara Super Power wilayah timur yaitu Kerajaan Persia yang sering mengganggu warga muslim. Panglima Perang dipercayakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas. Perang tidak dapat dihindari karena Panglima Perang Kerajaan Persia yang bernama Rustam menghadang pasukan muslim di Qadisiyah yang merupakan pintu masuk ke Kerajaan Persia. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai Perang Qadisiyah dan itulah perang paling dasyat yang terjadi pada masa Kekhalifahan Umar. Perang diakhiri dengan kemenangan pasukan muslim.

Ketika perang Qadisiyah baru saja usai. Saat itu dua orang pahlawan perang masing2 Sahl bin Hunaif dan Qais bin Sa’d sedang duduk, tidak lama lewat iringan jenazah dihadapan mereka, spontan mereka berdiri menghormati jenazah yang melewati mereka sementara sahabatnya yang lain tetap duduk sambil mengingatkan Sahl dan Qais bahwa jenazah yang lewat tersebut adalah orang kafir dzimmi. Peringatan dari sahabatnya yang tetap duduk itu dijawab oleh Sahl bin Hunaif dan Qais bin Sa’d, “Sesungguhnya pernah ada jenazah lewat didepan Nabi s.a.w kemudian beliau berdiri, lalu ada sahabat yang memberitahu beliau bahwa jenazah itu adalah yahudi, kemudian Nabi bersabda. Bukankah dia juga manusia?. [ Shahih Bukhari , Hadits No : 684 ]. Dinarasikan Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat”.

Penghormatan nabi Muhammad saw dan Islam kepada kemanusiaan adalah sesuatu hal yang harus di jaga, memuliakan tamu, menghargai ijtihad dan pemikiran, orang yang berbeda keyakinan, karena jika kita tidak menghargai kemanusiaan dan dialog yang santun ini maka sama hal nya sesungguhnya kita telah merusak tatanan hidup yang harmonis. Imam Syafii pernah menyampaikan sesuatu hal yang cukup bijak dalam hidupnya terkait dengan ijtihad, dia mengatakan “pendapat saya adalah benar tapi tidak menutup kemungkinan ada kesalahan di dalamnya, dan pendapat imam yang lain adalah salah tapi tidak menutup kemungkinan termuat berita kebenaran di dalamnya. Begitulah sang imam fiqh ini memberikan penghormatannnya bagi yang mempunyai ijtihad. Sungguh orang bijak tidak pernah memutuskan persoalan dalam prasangka buruk terhadap sesuatu hal. Demikian kata Muhammad Iqbal sang pemikir asal Pakistan bahwa kebenaran itu adalah abadi maka silahkan menjempuntnya dari mana pun ia berada. Dibutuhkan jiwa yang sehat, arif, dan bertanggung jawab untuk mengakui keberadaan orang lain disisinya, hal ini di tambah pernyataan Buya Syafii Ma’arif bahwa Timur dan Barat adalah punya Allah SWT mengingkari kebeneran yang ada di barat sama halnya dengan mengingkari Allah SWT, bukankah sesungguhnya rasul juga menyampaikan untuk berfastabiqul khairat bahkan sampai ke negeri Cina.

Menuduh dengan alasan yang tidak terbukti/tidak benar seperti mengatakan orang kafir, penganut aliran sesat, Zionis dan antek-antek Yahudi, sampai mengatakan hujjah yang orang di benci hanyalah merupakan taqiyah atau kebohongan saja untuk mendapat perlindungan atau menutupi kemaksiatan. Perlu kita ketahui sampai kapan kita akan menuduh dengan tanpa mempunyai alasan yang kuat terhadap kekafiran orang lain, jika klarifikasi dan bahasa orang saja tidak pernah kita yakini. Ini sesungguhnya menjadi dilema ke Indonesiaan dan keagamaan umat Islam di seluruh dunia. Hal ini juga yang sering di sematkan oleh beberapa jamaah/media tertentu, kepada orang yang tidak mendapat respon dukungan atas sikap radikalisme dan ritual tradisional/konservatif seperti misalnya tuduhan kepada Said Agil Siradj sebagai pelaku takfir (yang mengkafirkan orang lain), Quraish Shihab tidak cocok sebagai penafsir al Quran, Gusdur dengan peninggalan bid’ah nya. Emha Ainun Nadjib yang di anggap calo syiah, begitupun dengan Jalaluddin Rahmat, semuan para tokoh dan pakar ini menjadi hujatan. Seolah mereka adalah pewaris agama yang paling shaheh dan juru bicara Tuhan. 

Dalam hal beragama, Allah memberi kebebasan kepada manusia. Meskipun kebenaran itu dari Allah SWT, namun Allah tidak pernah memaksa manusia untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang ingin beriman, maka imanlah. Siapa yang ingin kafir, maka kafirlah. Pun demikian, Allah menciptakan manusia menurut fitrah beragama tauhid. Semua bayi yang lahir, mempunyai kesiapan untuk beragama Islam. Ketika ia besar, ia menjadi kafir atau memeluk agama selain Islam, maka itu adalah karena pilihan dan didiakannya sendiri. Karena sesungguhnya, Allah tidak pernah menganiaya hamba-Nya. Jika ia sampai masuk ke neraka, itu tak lain karena ia sendirilah yang telah menganiaya dirinya sendiri. Allah berfirman, "Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih." (QS.  Al Insyiqaaq 24). 

Sesungguhnya Allah SWT yang paling berhak menilai dan paling mengetahui di antara hambanya, maka yang paling mulai di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa. Hidup untuk kemuliaan, penghambaan terhadap Allah SWT, dengan persaudaraan yang harmonis, dan menjaga kebangsaan demi mewujudkan kekhalifahan di muka bumi-Nya. Itulah tugas dan fungsi manusia tercipta. Rukun dalam perbedaan, dan mengingatkan dalam hal nasehat serta sabar, berlomba-lomba untuk berbagi kebaikan. Itulah sumpah Allah SWT atas nama waktu yang harus di jalani. Marilah kita membuka diri, sampaikan dengan santun tanpa menyakiti orang lain, apalagi menuduh dengan sesuatu hal yang tidak benar, agar kita lebih bermartabat disisi manusia terlebih lagi di hadapan Allah SWT. 

*Penulis Adalah Alumni Profi Agama dan Filsafat Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakareta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar