Oleh M. Hafiz Ghazali
Puasa (dalam
bahasa Arab shaum) adalah salah satu bentuk ibadah yang secara umum
berarti menahan diri. Aktivitas menahan diri yang dimaksud adalah menahan diri
dari melanggar aturan ibadah puasa itu sendiri. Aturan puasa dalam Islam adalah
menahan diri dari nafsu manusiawi dalam waktu tertentu, yakni dimulai sejak
matahari terbit sampai matahari terbenam dengan didasari niat beribadah,
dilakukan secara sadar, dan dalam keadaan suci, tidak sedang haid atau nifas
bagi wanita. Orang yang berpuasa wajib menahan nafsu manusiawinya, termasuk
nafsu makan, minum, amarah, seksual, dan nafsu-nafsu lainnya, yang pasti
dimiliki oleh setiap insan.
Ibnu Manzur,
ahli Bahasa Arab dan sesepuh ilmu Bahasa Arab, dalam karya monumentalnya, Kamus
Lisan Al-Arab, mendefinisikan puasa (shaum) dengan
“kondisi/hal meninggalkan makan, minum, berhubungan seksual dan berbicara”. Apa
yang diungkapkannya tersebut adalah definisi paling asli dan paling sahih menurut
ilmu dan sejarah Bahasa Arab. Hal itu selaras dengan keterangan Alquran, di
antaranya pada kisah Maryam saat menjawab hinaan dan cemoohan publik
terhadapnya lantaran peristiwa super hebat yang menimpanya, hamil tanpa adanya
pembuahan sel sperma seorang laki-laki dan sel telur beliau. Saat itu Maryam
memilih jalan mengasingkan diri serta berpuasa dari berbicara kepada orang
lain. Lebih lengkapnya, Alquran merekam peristiwa tersebut:
“Jika kamu
(Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah
bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara
dengan seorang manusia pun pada hari ini” (QS. Maryam: 26).
Yang menjadi
titik tekan pada definisi shaum adalah aktivitas menahan yang juga
merupakan makna inti dari kata tersebut. Selain itu, aktivitas menahan juga
menjadi fokus pembeda antara puasa dan ritual peribadatan lainnya. Selain
puasa, peribadatan umat Muslim dapat diketahui dari sisi lahirnya, misalnya
salat, haji, zakat, sedekah, qurban dan ibadah lainnya. Akan tetapi, amalan
puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan
lahir atau fisik. Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwa satu-satunya ibadah
yang tidak bisa dicampuri sifat riya (memperlihatkan atau membanggakan
kelebihan diri sendiri) adalah puasa.
Menurut seorang
pakar tafsir yang bernama Muhammad Ali Al-Shabuni, ada empat hikmah yang
terkandung dalam ibadah puasa. Pertama, puasa adalah sarana pendidikan bagi
manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT, membiasakan diri untuk patuh
terhadap perintah-Nya, dan menghambakan diri kepada-Nya. Kedua, puasa adalah
pembiasaan bagi jiwa dan raga untuk tetap sabar dan tahan terhadap segala
penderitaan dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Ketiga, puasa merupakan
sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap orang
lain, sehingga orang yang berpuasa menjadi sadar dan terdorong untuk membantu
meringankan beban penderitaan orang lain atau menyantuni orang lain yang kurang
berkecukupan. Keempat, puasa menanamkan dalam diri manusia rasa takwa kepada
Allah SWT dengan cara senantiasa mentaati-Nya baik dalam keadaan
terang-terangan maupun tersembunyi.
Ulama lain, di
antaranya Wahbah Al-Zuhaili, menambahkan bahwa di dalam ibadah puasa terkandung
manfaat yang banyak. Manfaat tersebut tidak hanya yang bersifat material,
tetapi juga yang bersifat spiritual. Puasa merupakan perwujudan sikap taat dan
patuh kepada Allah SWT. Kepatuhan seorang hamba yang berpuasa termanifestasikan
dalam puasanya itu sendiri, yang pada hakikatnya merupakan laku seorang hamba
yang dekat atau mendekat kepada Tuhannya sebab ia mengalahkan segala nafsunya
untuk melaksanakan segala perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya.
Jika yang
terjadi demikian, maka puasa yang dilakukan seorang hamba dapat berfungsi
sebagai alat penebus dosa. Di samping semua itu, masih menurut Al-Zuhaili,
puasa menjadi sarana pendidikan moral yang tinggi yang dapat melahirkan
perilaku yang luhur. Puasa mengajarkan kejujuran, kesabaran dan kedisiplinan, meneguhkan
tekad, menjernihkan pikiran, serta yang paling penting memerangi hawa nafsu.
Dalam konteks kehidupan sosial, puasa menumbuhkan rasa kasih sayang dan
persaudaraan yang kokoh sesama umat manusia, mempererat soliditas dan semangat
gotong-royong sesama umat Muslim, mendorong umat manusia untuk sadar dan
merasakan lapar yang diderita oleh orang lain yang kurang beruntung dan
menyadari betapa perlunya membantu mereka.
Setiap tahun,
umat Muslim diwajibkan melakukan puasa pada bulan Ramadan. Selama sebulan penuh,
setiap Muslim yang baligh, berakal, sehat, dan tidak sedang berhalangan, wajib
hukumnya berpuasa. Ibadah puasa pada bulan Ramadan ini merupakan salah satu
Rukun Islam, seorang Muslim yang belum melakukannya belum dianggap ber-Islam.
Dalil wajibnya seorang
Muslim yang berkemampuan seperti yang telah dijelaskan di atas untuk berpuasa
pada bulan Ramadan adalah ayat ke-183 dari Surat Al-Baqarah. Allah SWT
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).
Perintah
tersebut turun tidak lain sebagai simbol tindak kepatuhan atau ketakwaan kepada
Allah SWT. Hal itu senada dengan tujuan utama ibadah puasa seperti yang telah
disebutkan dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah, yaitu membentuk pribadi Mukmin
(beriman kepada Allah SWT) yang bertakwa kepada Allah SWT. Oleh sebab itu,
sudah selayaknya bagi kaum Muslim untuk selalu mendasarkan amalan puasanya
dengan niat mendapatkan ridha Allah SWT serta meraih derajat takwa kepada-Nya.
Perintah wajib
berpuasa pada bulan Ramadan bagi umat Muslim turun pertama kali pada tahun 623
M, satu setengah tahun setelah peristiwa hijrah Rasulullah Muhammad SAW dari
Mekkah ke Madinah. Jauh sebelum itu, puasa sudah diwajibkan oleh Allah SWT
kepada umat manusia. Keterangan Alquran mengenai ‘orang-orang sebelum kamu’
dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah menjadi bukti. Yang dimaksud dengan ‘orang-orang
sebelum kamu’ tidak lain ialah umat nabi-nabi sebelum Rasulullah Muhammad
SAW. Oleh sebab itulah, puasa menurut para ulama adalah ibadah klasik,
mengingat memang sejak lama telah disyariatkan kepada umat manusia. Pada saat
yang sama, sepanjang masa dalam lintas sejarah, ibadah puasa disyariatkan
kepada setiap umat dan selalu berlanjut hingga era umat Nabi Muhammad SAW saat
ini.
Dalam Ayat
ke-183 Surat Al-Baqarah, yang menyebutkan kewajiban puasa berlaku terhadap umat
masa kini dan umat terdahulu, muncul dua permasalahan yang menjadi bahan
perbedaan pendapat di antara para ulama. Pertama, permasalahan seputar ungkapan
“sebagaimana diwajibkan”. Permasalahannya adalah apakah kesamaan (ke-sebagaimana-an)
puasa yang diwajibkan atas umat terdahulu adalah puasa pada bulan Ramadan, atau
kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja, sedangkan waktunya
berada di bulan lain.
Mengenai
permasalahan ini, lahir dua arus pendapat di antara para ulama. Sahabat Said
bin Jabir RA memaknai hukum tasybih atau penyerupaan puasa Ramadan
dengan amalan puasa umat terdahulu terletak pada kewajiban hukumnya, bukan pada
durasi dan waktu pelaksanaannya. Argumen pendapat ini adalah kondisi realitas
masyarakat pra-Islam yang masih mengenali syariat tersebut walaupun
pelaksanaannya bukan pada bulan Ramadan. Ayat ke-48 Surat Al-Maidah menjelaskan
dasar pemikiran pendapat yang pertama ini,
“… Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, –yakni umat Nabi Muhammad SAW dan umat nabi-nabi
sebelumnya– Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS. Al-Maidah: 48).
Pendapat kedua
menekankan pada durasi serta waktu pelaksanaan puasa. Dasar pendapat kedua ini
adalah lanjutan ayat hukum wajib puasa Ramadan (QS. Al-Baqarah: 183), yakni
Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah. Pada ayat tersebut Allah berfirman: “(Yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu”. Secara tidak langsung ibadah puasa
baik yang diwajibkan pada umat-umat pra-Islam maupun yang diwajibkan kepada
umat Muslim sudah ditentukan waktu dan lama pelaksanaannya, yaitu selama
sebulan penuh pada bulan Ramadan.
Permasalahan
kedua mengenai ayat hukum wajibnya puasa Ramadan, Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah,
adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”.
Mengenai hal ini, muncul tiga arus utama pendapat ulama. Pendapat pertama
mengatakan “orang-orang sebelum kamu” ialah ahlul kitab,
yaitu orang-orang yang masih berpegang kepada kitab agamaYahudi dan Nasrani
yang masih murni tanpa tahrif (perubahan atau campur tangan pemikiran)
ulama dalam agama-agama tersebut. Pendapat kedua menyebutkan bahwa umat
Nasrani-lah yang dimaksud oleh ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga
mengatakan bahwa “orang-orang sebelum kamu” dalam ayat tersebut ialah
seluruh umat manusia sebelum umat Nabi Muhammad SAW.
Ibadah puasa
Ramadan diwajibkan kepada umat Muslim secara bertahap. Dalam karyanya, Zaad Al-Ma’ad,
ulama Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan kronologi turunnya hukum wajib
puasa Ramadan. Pada tahap pertama, ibadah puasa bersifat pilihan. Orang yang
ingin melakukannya dipersilakan berpuasa, pada saat yang sama orang juga boleh
mengganti ibadah puasanya dengan memberi makan orang miskin. Dalil yang
menjelaskan hal ini adalah Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah.
”….. dan
wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan puasa membayar fidyah, yaitu
dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barangsiapa yang
dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu, maka itulah yang lebih baik
baginya, dan jika kalian melakukan puasa maka hal itu lebih baik bagi kalian
jika kalian mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah: 184).
Pakar tafsir dan
ilmu tafsir Alquran, Imam Al-Hafiz Ibnu Katsir, dalam konteks pembahasan Ayat
ke-184 dari Surat Al-Baqarah tersebut memandang bahwa orang yang sehat dan
bermukim atau tidak sedang dalam perjalanan yang jauh dan melelahkan serta
mampu menjalankan puasa diberikan pilihan antara menunaikan puasa atau membayar
fidyah. Jika berkehendak berpuasalah ia, sedang bila tidak ia bisa
membayar fidyah.
Dalam sebuah
riwayat atsar sahabat, Sahabat Salamah bin Akwa’ RA berkata,
“Dahulu kami
saat bulan Ramadan pada zaman Rasulullah SAW, barangsiapa yang ingin berpuasa
maka boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin berbuka maka dia memberi makan
seorang miskin, hingga turun ayat Allah (Al-Baqarah: 185): “…
Barangsiapa di antara kalian mendapati bulan itu (Ramadan) maka dia wajib
berpuasa …” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tahap kedua
aturan wajib puasa Ramadan bersifat absolut. Orang beriman yang memenuhi
kriteria orang-orang yang wajib berpuasa, harus berpuasa dan tidak memiliki
pilihan lain. Dalil yang menerangkan tahap ini adalah firman Allah SWT:
“…
Barangsiapa yang mendapati bulan itu (ramadhan) maka dia wajib berpuasa …”
(QS. Al-Baqarah: 185).
Kasus yang
sangat ekstrem sehingga seseorang bisa jadi berpuasa selama 20 jam lebih pun
pernah terjadi pada masa itu. Pada aturan puasa tahap kedua ini, seseorang yang
siangnya berpuasa lalu tertidur sebelum berbuka puasa hingga kehilangan waktu
isya, maka dia wajib berpuasa hingga waktu berbuka pada hari berikutnya, sebab
waktu berbuka hanya berkisar antara maghrib dan isya. Pada masa selanjutnya,
aturan tersebut diperbarui oleh Allah SWT dengan memberikan keringanan.
Aktualisasi
aturan puasa yang awalnya memberatkan lalu diperingan tersebut disebutkan dalam
sebuah riwayat hadis dari sahabat Al Barra’ bin Azib RA:
“Dahulu para
sahabat Rasulullah SAW jika salah seorang di antara mereka berpuasa
kemudian tertidur sebelum dia berbuka, maka dia tidak boleh makan dan minum di
malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah
seorang sahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al-Anshory (saat itu) dalam keadaan
berpuasa. Tatkala tiba waktu berbuka, ia datang kepada istrinya dan berkata:
‘Apakah kamu punya makanan?’ Istrinya menjawab: ‘Tidak, tetapi akan kucarikan
untukmu (makanan).’ — dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga
tertidur (karena kepayahan)– Ketika istrinya datang dan melihatnya
(tertidur) ia berkata: ‘Rugilah kamu (yakni tidak bisa makan dan minum karena
tertidur sebelum berbuka)!” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika
dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat
(QS. Al-Baqarah: 187): “Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan
puasa (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.” Dan para
saahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu: “Dan makan
serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Sejak saat itu
hingga saat ini dan akan berlangsung selama kehidupan manusia masih lestari,
puasa wajib pada bulan Ramadan berdasarkan pada aturan yang paling final
tersebut.
Selamat datang
bulan puasa, selamat datang Ramadan yang mulia!
Dari
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar