Laman

Kamis, 16 Januari 2014

Puasa: Ibadah Klasik Umat Manusia Sepanjang Zaman






 
Oleh M. Hafiz Ghazali 

Puasa (dalam bahasa Arab shaum) adalah salah satu bentuk ibadah yang secara umum berarti menahan diri. Aktivitas menahan diri yang dimaksud adalah menahan diri dari melanggar aturan ibadah puasa itu sendiri. Aturan puasa dalam Islam adalah menahan diri dari nafsu manusiawi dalam waktu tertentu, yakni dimulai sejak matahari terbit sampai matahari terbenam dengan didasari niat beribadah, dilakukan secara sadar, dan dalam keadaan suci, tidak sedang haid atau nifas bagi wanita. Orang yang berpuasa wajib menahan nafsu manusiawinya, termasuk nafsu makan, minum, amarah, seksual, dan nafsu-nafsu lainnya, yang pasti dimiliki oleh setiap insan.

Ibnu Manzur, ahli Bahasa Arab dan sesepuh ilmu Bahasa Arab, dalam karya monumentalnya, Kamus Lisan Al-Arab, mendefinisikan puasa (shaum) dengan “kondisi/hal meninggalkan makan, minum, berhubungan seksual dan berbicara”. Apa yang diungkapkannya tersebut adalah definisi paling asli dan paling sahih menurut ilmu dan sejarah Bahasa Arab. Hal itu selaras dengan keterangan Alquran, di antaranya pada kisah Maryam saat menjawab hinaan dan cemoohan publik terhadapnya lantaran peristiwa super hebat yang menimpanya, hamil tanpa adanya pembuahan sel sperma seorang laki-laki dan sel telur beliau. Saat itu Maryam memilih jalan mengasingkan diri serta berpuasa dari berbicara kepada orang lain. Lebih lengkapnya, Alquran merekam peristiwa tersebut:

“Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini” (QS. Maryam: 26).

Yang menjadi titik tekan pada definisi shaum adalah aktivitas menahan yang juga merupakan makna inti dari kata tersebut. Selain itu, aktivitas menahan juga menjadi fokus pembeda antara puasa dan ritual peribadatan lainnya. Selain puasa, peribadatan umat Muslim dapat diketahui dari sisi lahirnya, misalnya salat, haji, zakat, sedekah, qurban dan ibadah lainnya. Akan tetapi, amalan puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan lahir atau fisik. Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri sifat riya (memperlihatkan atau membanggakan kelebihan diri sendiri) adalah puasa.

Menurut seorang pakar tafsir yang bernama Muhammad Ali Al-Shabuni, ada empat hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa. Pertama, puasa adalah sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT, membiasakan diri untuk patuh terhadap perintah-Nya, dan menghambakan diri kepada-Nya. Kedua, puasa adalah pembiasaan bagi jiwa dan raga untuk tetap sabar dan tahan terhadap segala penderitaan dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Ketiga, puasa merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap orang lain, sehingga orang yang berpuasa menjadi sadar dan terdorong untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain atau menyantuni orang lain yang kurang berkecukupan. Keempat, puasa menanamkan dalam diri manusia rasa takwa kepada Allah SWT dengan cara senantiasa mentaati-Nya baik dalam keadaan terang-terangan maupun tersembunyi.
Ulama lain, di antaranya Wahbah Al-Zuhaili, menambahkan bahwa di dalam ibadah puasa terkandung manfaat yang banyak. Manfaat tersebut tidak hanya yang bersifat material, tetapi juga yang bersifat spiritual. Puasa merupakan perwujudan sikap taat dan patuh kepada Allah SWT. Kepatuhan seorang hamba yang berpuasa termanifestasikan dalam puasanya itu sendiri, yang pada hakikatnya merupakan laku seorang hamba yang dekat atau mendekat kepada Tuhannya sebab ia mengalahkan segala nafsunya untuk melaksanakan segala perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya.

Jika yang terjadi demikian, maka puasa yang dilakukan seorang hamba dapat berfungsi sebagai alat penebus dosa. Di samping semua itu, masih menurut Al-Zuhaili, puasa menjadi sarana pendidikan moral yang tinggi yang dapat melahirkan perilaku yang luhur. Puasa mengajarkan kejujuran, kesabaran dan kedisiplinan, meneguhkan tekad, menjernihkan pikiran, serta yang paling penting memerangi hawa nafsu. Dalam konteks kehidupan sosial, puasa menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan yang kokoh sesama umat manusia, mempererat soliditas dan semangat gotong-royong sesama umat Muslim, mendorong umat manusia untuk sadar dan merasakan lapar yang diderita oleh orang lain yang kurang beruntung dan menyadari betapa perlunya membantu mereka.

Setiap tahun, umat Muslim diwajibkan melakukan puasa pada bulan Ramadan. Selama sebulan penuh, setiap Muslim yang baligh, berakal, sehat, dan tidak sedang berhalangan, wajib hukumnya berpuasa. Ibadah puasa pada bulan Ramadan ini merupakan salah satu Rukun Islam, seorang Muslim yang belum melakukannya belum dianggap ber-Islam.

Dalil wajibnya seorang Muslim yang berkemampuan seperti yang telah dijelaskan di atas untuk berpuasa pada bulan Ramadan adalah ayat ke-183 dari Surat Al-Baqarah. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Perintah tersebut turun tidak lain sebagai simbol tindak kepatuhan atau ketakwaan kepada Allah SWT. Hal itu senada dengan tujuan utama ibadah puasa seperti yang telah disebutkan dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah, yaitu membentuk pribadi Mukmin (beriman kepada Allah SWT) yang bertakwa kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, sudah selayaknya bagi kaum Muslim untuk selalu mendasarkan amalan puasanya dengan niat mendapatkan ridha Allah SWT serta meraih derajat takwa kepada-Nya.

Perintah wajib berpuasa pada bulan Ramadan bagi umat Muslim turun pertama kali pada tahun 623 M, satu setengah tahun setelah peristiwa hijrah Rasulullah Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Jauh sebelum itu, puasa sudah diwajibkan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Keterangan Alquran mengenai ‘orang-orang sebelum kamu’ dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah menjadi bukti. Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kamu’ tidak lain ialah umat nabi-nabi sebelum Rasulullah Muhammad SAW. Oleh sebab itulah, puasa menurut para ulama adalah ibadah klasik, mengingat memang sejak lama telah disyariatkan kepada umat manusia. Pada saat yang sama, sepanjang masa dalam lintas sejarah, ibadah puasa disyariatkan kepada setiap umat dan selalu berlanjut hingga era umat Nabi Muhammad SAW saat ini.

Dalam Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah, yang menyebutkan kewajiban puasa berlaku terhadap umat masa kini dan umat terdahulu, muncul dua permasalahan yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Pertama, permasalahan seputar ungkapan “sebagaimana diwajibkan”. Permasalahannya adalah apakah kesamaan (ke-sebagaimana-an) puasa yang diwajibkan atas umat terdahulu adalah puasa pada bulan Ramadan, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain.

Mengenai permasalahan ini, lahir dua arus pendapat di antara para ulama. Sahabat Said bin Jabir RA memaknai hukum tasybih atau penyerupaan puasa Ramadan dengan amalan puasa umat terdahulu terletak pada kewajiban hukumnya, bukan pada durasi dan waktu pelaksanaannya. Argumen pendapat ini adalah kondisi realitas masyarakat pra-Islam yang masih mengenali syariat tersebut walaupun pelaksanaannya bukan pada bulan Ramadan. Ayat ke-48 Surat Al-Maidah menjelaskan dasar pemikiran pendapat yang pertama ini,

“… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, –yakni umat Nabi Muhammad SAW dan umat nabi-nabi sebelumnya– Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS. Al-Maidah: 48).

Pendapat kedua menekankan pada durasi serta waktu pelaksanaan puasa. Dasar pendapat kedua ini adalah lanjutan ayat hukum wajib puasa Ramadan (QS. Al-Baqarah: 183), yakni Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah. Pada ayat tersebut Allah berfirman: “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu”. Secara tidak langsung ibadah puasa baik yang diwajibkan pada umat-umat pra-Islam maupun yang diwajibkan kepada umat Muslim sudah ditentukan waktu dan lama pelaksanaannya, yaitu selama sebulan penuh pada bulan Ramadan.
Permasalahan kedua mengenai ayat hukum wajibnya puasa Ramadan, Ayat ke-183 Surat Al-Baqarah, adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Mengenai hal ini, muncul tiga arus utama pendapat ulama. Pendapat pertama mengatakan “orang-orang sebelum kamu” ialah ahlul kitab, yaitu orang-orang yang masih berpegang kepada kitab agamaYahudi dan Nasrani yang masih murni tanpa tahrif (perubahan atau campur tangan pemikiran) ulama dalam agama-agama tersebut. Pendapat kedua menyebutkan bahwa umat Nasrani-lah yang dimaksud oleh ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa “orang-orang sebelum kamu” dalam ayat tersebut ialah seluruh umat manusia sebelum umat Nabi Muhammad SAW.

Ibadah puasa Ramadan diwajibkan kepada umat Muslim secara bertahap. Dalam karyanya, Zaad Al-Ma’ad, ulama Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan kronologi turunnya hukum wajib puasa Ramadan. Pada tahap pertama, ibadah puasa bersifat pilihan. Orang yang ingin melakukannya dipersilakan berpuasa, pada saat yang sama orang juga boleh mengganti ibadah puasanya dengan memberi makan orang miskin. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah.

”….. dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan puasa membayar fidyah, yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barangsiapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu, maka itulah yang lebih baik baginya, dan jika kalian melakukan puasa maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah: 184).

Pakar tafsir dan ilmu tafsir Alquran, Imam Al-Hafiz Ibnu Katsir, dalam konteks pembahasan Ayat ke-184 dari Surat Al-Baqarah tersebut memandang bahwa orang yang sehat dan bermukim atau tidak sedang dalam perjalanan yang jauh dan melelahkan serta mampu menjalankan puasa diberikan pilihan antara menunaikan puasa atau membayar fidyah. Jika berkehendak berpuasalah ia, sedang bila tidak ia bisa membayar fidyah.
Dalam sebuah riwayat atsar sahabat, Sahabat Salamah bin Akwa’ RA berkata,

“Dahulu kami saat bulan Ramadan pada zaman Rasulullah SAW, barangsiapa yang ingin berpuasa maka boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin berbuka maka dia memberi makan seorang miskin, hingga turun ayat Allah (Al-Baqarah: 185): “… Barangsiapa di antara kalian mendapati bulan itu (Ramadan) maka dia wajib berpuasa …” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tahap kedua aturan wajib puasa Ramadan bersifat absolut. Orang beriman yang memenuhi kriteria orang-orang yang wajib berpuasa, harus berpuasa dan tidak memiliki pilihan lain. Dalil yang menerangkan tahap ini adalah firman Allah SWT:

“… Barangsiapa yang mendapati bulan itu (ramadhan) maka dia wajib berpuasa …” (QS. Al-Baqarah: 185).

Kasus yang sangat ekstrem sehingga seseorang bisa jadi berpuasa selama 20 jam lebih pun pernah terjadi pada masa itu. Pada aturan puasa tahap kedua ini, seseorang yang siangnya berpuasa lalu tertidur sebelum berbuka puasa hingga kehilangan waktu isya, maka dia wajib berpuasa hingga waktu berbuka pada hari berikutnya, sebab waktu berbuka hanya berkisar antara maghrib dan isya. Pada masa selanjutnya, aturan tersebut diperbarui oleh Allah SWT dengan memberikan keringanan.

Aktualisasi aturan puasa yang awalnya memberatkan lalu diperingan tersebut disebutkan dalam sebuah riwayat hadis dari sahabat Al Barra’ bin Azib RA:

Dahulu para sahabat Rasulullah SAW  jika salah seorang di antara mereka berpuasa kemudian tertidur sebelum dia berbuka, maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang sahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al-Anshory (saat itu) dalam keadaan berpuasa. Tatkala tiba waktu berbuka, ia datang kepada istrinya dan berkata: ‘Apakah kamu punya makanan?’ Istrinya menjawab: ‘Tidak, tetapi akan kucarikan untukmu (makanan).’ — dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)–  Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata: ‘Rugilah kamu (yakni tidak bisa makan dan minum karena tertidur sebelum berbuka)!” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat (QS. Al-Baqarah: 187): “Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.” Dan para saahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu: “Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).

Sejak saat itu hingga saat ini dan akan berlangsung selama kehidupan manusia masih lestari, puasa wajib pada bulan Ramadan berdasarkan pada aturan yang paling final tersebut.
Selamat datang bulan puasa, selamat datang Ramadan yang mulia!
 Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar