Oleh: Rahmat Kurnia Lubis*
A. Pendahuluan
Problematika
kehidupan manusia selalu berkembang dan tidak pernah surut. Seiring dengan
perkembangan kehidupan manusia, hukum dan teologi Islam juga berkembang terus
untuk memecahkan problema tersebut. Sementara junjungan kita Nabi
Muhammad Saw yang menjadi panutan sekaligus penentu (pemutus). kebijakan
(hukum) telah tiada. Lebih-lebih jika merujuk pada teks ketentuan-ketentuan
tekstualnya sangat terbatas. Hal ini selaras dengan pernyataan para ulama yang
mengatakan bahwa: (peristiwa-peristiwa tidak terbatas, sedangkan nas
bersifat terbatas). Oleh karena itu, kegiatan untuk mencari dan memecahkan
masalah – sesuai dengan fitrah manusia tidak bisa dibendung. Dengan kata lain,
kegiatan dan proses melakukan ijtihad atau ziarah intelektual dan proses
memahami teks sebagai sumber hukum dan teologi yang humanis tidak bisa
dihalangi. Proses dan kegiatan ini dilakukan sebagai upaya untuk memecahkan
masalah kehidupan manusia yang selalu berkembang secara dinamis. Dalam konteks
ini lebih tegas lagi dinyatakan oleh ulama dengan statement fiqh yang
justeru memberi justifikasi dan legitimasi terjadinya perubahan hukum atau
teologi sebagai sandaran (kerangka filosofis ) khalifatullah didasarkan pada
ruang dan waktu.
Tentunya penulis
tidak kemudian ingin membicarakan hukum Islam secara universal dari beberapa
hal yang menjadi perdebatan dikalangan pemeluknya namun yang jauh lebih penting
dari itu adalah secara tegas penulis ingin mengemukakan bahwa pemahaman
teologis masih menyisakan doktrin kaku yang cukup sulit untuk harmoni dalam
perbedaan demi menemukan kesejahteraan sebagai happy ending dari
sebuah wujud teologis yang humanistik transformatif, dan yang lebih disayangkan
truth claim telah mengkotak-kotakkan kesempatan dan harapan umat
manusia hingga kehilangan jati dirinya sebagai pengelola bumi yang memang
menjadi tugas utama dilahirkannya makhluk yang bernama manusia ini. Salah satu
ciri mendasar teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam itu
merupakan agama terbuka (open religion). Keterbukaan bahkan merupakan
sikap yang harus dianut umat Islam. Sikap ini harus lebih ditonjolkan,
mengingat kondisi umat Islam dan masyarakat dunia yang pluralis. Dalam
masyarakat yang demikian umat Islam seharusnya bisa memberikan teladan sebagai
mediator atau penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia
dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan
antar kelompok itu. Pada tataran tersebut diatas ketika merumuskan konsep-konsep
Islam yang universal berarti kita harus cerdas dalam mendemontrasikan
bahasa-bahasa Al-Quran yang bersifat metafisis dan intuitif menjadi
bahasa-bahasa yang empiris objektif dan sistematis. Yang paling penting adalah
tidak menutup mata atas realitas yang ada.
Alangkah lebih
arifnya kita memetakan perkembangan dinamika teologis ini agar menjadi sesuatu
yang membumi di era modern reformasi dan melahirkan kesejahteraan yang juga
pastinya rukun dalam perbedaan.
1.
Perjumpaan Teologi Islam Pra Modern (Klasik)
Sejarah telah
membuktikan bahwa kehidupan kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah era dimana teologi
disampaikan oleh sang utusan Tuhan sendiri, mengungkap sisi-sisi kebenaran dari
teologi adalah sesuatu hal yang tidak asing bagi orang yang hidup di zaman ini,
karena memang pada dasarnya Muhammad sebagai seorang panglima spiritual telah
mengejawantahkan kehidupan teologi dalam alam empiris hingga berjumpa dengan
Tuhan yang empirik, tidak hanya sekedar Tuhan konsepsi, apalagi Tuhan persepsi,
Tuhan Empirik yang kelak membentuk pribadi manusia yang kuat, mandiri, kreatif,
dan penuh harapan. Tuhan Empirik membuat manusia sehat secara spritual.
Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan adalah pengalaman yang bermakna peradaban
yang memacu kreatifitas manusia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik,
lebih sejahtera dan lebih manusiawi, penuh harmoni dan tidak merusak
lingkungan. Tuhan Empirik itu, ia bersemayam dalam ruh manusia dan menjadi inti
spiritualitas, mungkin tidak berlebihan jika saya mengutip sebuah pernyataan sufistik
“Aku di dalam Dia dan Dia di dalam Aku”, yang dimaksud, bahwa Tuhan itu masuk
dan inheren dalam diri manusia dan menjadi komponen paling utama dari tindakan
baik manusia.
2.
Teologi Islam era Modern
Salah satu
alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang ini adalah karena
banyak diantara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang
gaib. (Karen Amstrong)
Mengapa kita
harus membicarakan tentang Tuhan, bukankah Tuhan itu adala sesuatu yang sudah
given, yang sudah harus kita terima begitu saja. Kita percaya bahwa Dia ada,
dan kepercayaan ini sudah lebih dari cukup, pertanyaan ini adalah pernyataan
sebagaimana dipegang oleh pendukung argumen ontologis bahwa Tuhan itu ada
secara apriori. Kita tidak perlu bukti dan membuktikan bahwa Tuhan itu ada,
namun perkembangan ilmu pengetahuan dan sesuai arus kritis manusia modern
mengatakan pertanyaan dan pernyataan ini tidak sepenuhnya salah. Persoalannya,
setiap pembicaraan spiritualitas harus mendapat kejelasan eksistensi Tuhan
dalam hal ini. Karena jika tidak jelas, maka spiritualitas ini tak akan berbeda
jauh dengan spiritualitas dalam bayang-bayang psikologi humanistik.
Kalau kita
mengklaisifikasikan era agama dalam perkembangan pemikiran manusia maka tidak
heran kenapa hidup di saat sekarang ini membutuhkan pemahaman yang lebih utuh
dan holistik dari berbagai disiflin ilmu untuk menemukan spiritualitas karena
tanpa dorongan ilmu yang lain dalam hal ini ilmu umum, Amin Abdullah dalam
sebuah wawancara yang dilakukan oleh salah satu media Nasional yaitu Republika
menyatakan bahwa awalnya agama hanya dipahamai sebatas tekstualis dengan
penghayatan konteks dizaman ayat itu diturunkan, kemudian bermuara kepada sikap
kritis dan mencoba menggeluti secara lebih serius arti pentingnya sebuah ajaran
atau dogma dengan penalaran yang lebih filosofi dengan pendekatan humanistik,
salah satu satu konsep KeTuhanan atau spiritualitas dalam menelaah Tuhan itu
sendiri adalah berperspektif kedokteran dengan memilih neurosains sebagai
pendekatan ilmu yang lebih ilmiah dan modern.
3.
Teologi Islam Postmodern
Islam itu untuk
maslahat manusia, bukan untuk Tuhan. Islam itu ada janjinya kepada manusia, rahmatan
lil ‘alamin, namun karena Islam atau agama itu sesungguhnya adalah untuk
manusia bukan manusia untuk agama maka yang menjadi subjek dalam kehidupan
beragama ini adalah tentunya manusia, untuk menciptakan progresifitas agama
(Islam) itu, maka kita harus menghadirkan gerakan sosial, kemanusiaan dan
science dalam ruang teologi hingga teologi dapat membaca realitas kehidupan
yang penuh gejolak, dinamika dan pertentangan yang tidak manusiawi. Sehingga
dapat dipastikan out put dari gerakan teologis dapat berinteraksi dengan
kehidupan manusia.
Doktrin agama
Yahudi, Nasrani, dan Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip tingkah laku
tentang kewajiban orang-orang berada atas orang-orang yang membutuhkan bantuan
tanpa pertimbangan kepentingan pribadi dan politik. Pemberian bantuan kepada
orang lain sebaiknya dilakukan tanpa banyak pertimbangan dan harus segera
dilakukan. Tentunya implikasi sosial dari teologi yang universal ini akan mampu
menjawab kebutuhan manusia yang hidup di era kegelisahan dan kesenjangan antara
pemimpin dengan masyarakat yang hidup dipinggiran. Mengutip pendapat seorang
filsuf Perancis, Andre Malraux, yang meramalkan bahwa abad ke-21 akan merupakan
abad agama. pendapat Malraux ini sejalan dengan pendapat A. Mukti Ali yang
menyatakan bahwa “Jika kita boleh memperhatikan keadaan agama di Indonesia
khususnya, dan di dunia umumnya, pada masa depan, katakanlah satu dekade
pertama abad ke-21, maka kita akan mengatakan bahwa akan dirasakan oleh umat
manusia sebagai suatu hal yang makin penting. Dihari-hari yang akan datang,
umat manusia akan merasakan bahwa agama adalah sesuatu yang sangat mereka
perlukan”. Hal ini lebih disebabkan, bahwa tidak sedikit umat manusia yang
merasa gelisah menghadapi pemerintahan yang dzalim, ekonomi dan kesempatan
kerja yang semakin sulit, dan kerusakan ekologi yang menjadikan kehidupan
kurang sehat. Dalam keadaan seperti itulah, pesan-pesan agama, baik perorangan
maupun kelompok muncul kembali dan menjadi penting. Di era kegelisahan
Indonesia modern ini banyak ketimpangan telah terjadi dimana-mana,
problemantika kebangsaan kita tidak cukup memperhatinkan baik dari perspektif
hukum, pendidikan, kemiskinan, kesehatan adalah penghias media setiap harinya.
Teologi modern harus peka terhadap permasalahan yang ada, karena teologi tidak lagi hanya sebatas Tuhan, Nabi dan Wahyu, tetapi ia harus memasuki ruang simulasi yang lebih kompleks, memanusiakan manusia, menghormati kebudayaan, patuh tunduk terhadap hukum, dan semangat science ataupun pendidikan merupakan pengembangan teologi yang harus dibumikan, ketika seseorang mengaku beragama, terlepas dari pada agama apapun dan aliran apapun, harus menyadari bahwa tujuan universal dari agama dan aliran adalah sebuah peradaban, kebahagiaan dan kesejahteraan. Mengingkari hal ini sama halnya mengingkari perjanjian primordial dengan Tuhan sang pencipta.
Fenomena
keTuhanan tampaknya merupakan fakta universal. Hal ini tidak saja dapat
ditemukan pada masyarakat modern, tetapi juga masyarakat yang paling primitif
sekalipun. Bahkan lebih dari itu, ide tentang keTuhanan dalam diri manusia oleh
beberapa kalangan sudah dikategorikan bersifat naluriah (instinctive).
Bagi sebagian kelompok yang lain, ide tentang keTuhanan merupakan tuntutan akal
(the voice of reason). Mencintai Tuhan adalah mencintai segala ciptaan-Nya
yang ada. Bukan cinta yang egoistik yang hanya untuk memenuhi hasrat romantisme
berTuhan belaka. Pemahaman tentang teologi yang sebatas keTuhanan hanya
mempersempit arti dan sisi Kebesaran dan titah Tuhan yang lain di bumi persada
karena mungkin disatu sisi manusia beranggapan teologi kepada Tuhan cukuplah
mempertanggungjawabkan perilakunya hanya kepada Tuhan dan bisa bertaubat, namun
hubungan teologi yang berkaitan dengan manusia dan alam dengan tegas mempunyai
konsekwensi pertanggung jawaban kepada makhluk lain selain manusia, dan dalam
hal ini tentunya teologi universal dan penuh kedamaian ini akan melahirkan
kesalehan social dan implikasi hidup yang lebih layak.
*Penulis Adalah Alumni Program
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar