Oleh Dr. Asep Usman Ismail
Secara bahasa kalimat Allah berasal kata aliha
yang memiliki dua arti, membingungkan dan menggelisahkan
(karena kerinduan). Kedua makna ini menggambarkan sikap manusia terhadap Allah.
Manusia dengan faham pemikiran kebendaan (materialisme), empirisme
dan positipisme akan mengalami kesulitan dalam memahmi konsep Allah.
Mereka cenderung kepada kesimpulan bahwa konsep Tuhan dalam Islam itu
membingungkan. Pandangan ini akan melahirkan dua sikap fundamental tentang
tuhan. Pertama, tuhan tidak ada. Tuhan hanyalah sebuah ilusi manusia, ketika
gagal meraih sukses dalam hidupnya. Pandangan ini menggiring manusia menjadi atheis.
Kedua, tidak bisa menerima konsep tuhan, karena bertentangan dengan logika materialisme,
empirisme dan positipisme; tetapi juga tidak bisa mencabut
akar ketuhanan pada dirinya. Pandangan ini menggiring manusia menjadi skeptis
tentang tuhan.
Orang beriman yang dekat dengan Allah melalui
shalat, dzikir dan doa, maka kepada dirinya Allah akan mengalirkan cahaya
hingga intelek, emosi dan dan ruhaninya tercerahkan dengan cahaya Allah.
Manusia seperti ini akan merasakan kerinduan yang luar biasa kepada Allah,
bahkan mengalami kegelisahan, ketika nama Allah disebut seperti dilukiskan pada
ayat yang berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang
apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila
dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya
kepada Tuhan mereka bertawakal, (Yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan
yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat
(tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”. (Q.S.
Al-Anfal/8: 2-4).
Al-Qur`an menyatakan bahwa Allah itu bersifat imanensi,
sangat dekat dengan manusia. Tidak ada jarak antara Allah dengan hamba. Allah
tidak terhalang oleh ruang dan waktu. Allah meliputi seluruh alam ciptaan-Nya.
”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku sangat dekat”. (Q.S. Al-Baqarah/2: 186). Allah pun jauh dari
manusia dalam arti bukan alam dan bukan bagian dari alam, tetapi pencipta alam.
Allah bersifat tanzih, berbeda dengan alam. Manusia yang memadukan
kekuatan akal dan kalbu akan merasakan immensi dan transendental
Allah secara seimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar