Rahmat
Kurnia Lubis*
Sejarah
politik klasik mengisyaratkan bahwa kekuasaan lahir dari ketidakmungkinan
individu mengatur diri sendiri akibat sarat nya kepentingan yang berbenturan.
Jika pemikiran politik modern menyadari bahwa kekuasaan dalam bentuk negara
diperlukan untuk membina kehidupan individu, maka kondisi ideal negara adalah
perpanjangan tangan kekuasaan rakyat. Akan tetapi, kondisi ideal tersebut
senantiasa berbenturan dengan realitas politik yang terhampar di depan mata
rakyat.
Sering
digambarkan bahwa mereka yang ada di kiri dikategorikan sebagai penganut
sosialisme dan karena itu mempercayai pentingnya persamaan (equality)
dan yang di kanan dikategorikan sebagai penganut kapitalisme dan karena itu
mempercayai pentingnya kebebasan individu. Di tengah-tengah adalah mereka yang
menganut campuran antara kebebasan dan persamaan dan menganut kebijaksanaan negara
kesejahteraan (welfare state capitalism). Tetapi, dalam kenyataannya
realitas politik modern tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan
tersebut. Studi filsafat politik menunjukkan bahwa ada banyak posisi di antara
ketiga titik itu. Jelasnya bahwa pembedaan prinsip dan haluan politik sebagai
sebuah garis yang membentang antara kiri dan kanan semakin tidak memadai.
Muncullah berbagai macam aliran seperti feminisme atau komunitarianisme,
aktivisme, sekulerisme, liberalisme, dan begitupun yang berhaluan teologi.
Belajar
dari hal ini maka kita menyadari sepenuhnya, bahwa dengan meletakkan teori
dalam kebijakan bukan berarti sejak saat itu dengan mudah merubah masyarakat
atau selesailah pengaturan persoalan, tetapi sejak saat itu pula persoalan baru
timbul. Hal ini berarti disatu sisi manusia membuat peraturan tetapi disisi
lain ia tidak mampu untuk menguasai segala hal yang diaturnya. Timbullah
kesenjangan dari apa-apa yang tertulis dalam peraturan dengan apa-apa yang
terjadi dalam masyarakat sebagai penerapan peraturan, seperti yang dikenal
dengan penyakit (patologi ) kejahatan dalam berbirokrasi dan mengelola negara.
Hal ini menunjukkan bahwa penegakan bukanlah sesuatu yang mudah dan jelas
seperti keinginan bunyi pasal dalam peraturan tetapi sarat dengan intervensi
metayuridis. Begitupun pembahasan dengan suatu kajian keagamaan, yaitu berbicara adil dalam konteks agama dengan
menyampaikan hukuman/sanksi yang di berikan tentu belum memberikan jaminan
untuk sebuah efek jera bagi kehidupan. Sepertinya juga disisi yang lain orang
bisa saja khawatir memberikan kebijakan dan akhirnya sistem, anggaran, dan
kontrol berjalan di tempat karena khawatir salah mengambil kebijakan akhirnya
harus mati dan qhisos seperti dalam hukum agama Islam. Disisi yang lain kita
juga harus menghormati kehidupan, karena bisa jadi dengan hukum positif dalam
sebuah negara yang berkonstitusi seorang pelanggar hukum bisa bertaubat,
artinya negara masih memberikan hak kehidupan bagi yang mau memperbaiki
kesalahan.
Dengan
adanya sebuah lembaga yang legal, wajar dan formal, seperti halnya legislatif,
kemudian pihak eksekutif dan yudikatif yang tidak buta dengan sisi-sisi
kebenaran dan kemanusiaan yang dikawal oleh panggung demokrasi oleh lembaga
konstitusi juga mereka yang terdiri dari komponen masyarakat yang cukup
beragam, menghilangkan keegoan, merelatifitaskan sebuah keputusan, karena
mungkin keputusan kita masih ada yang paling layak dan paling relevan menjadi
tonggak awal sebuah kemajuan dan peradaban. Ketika
melihat realitas politik, elit dan partai menjelang pemilu di bulan April yaitu
legislatif dan proses menuju presiden ini, maka harus di sadari bahwa tugas ini
bukan hanya untuk satu rumpun, ideologi dan kepentingan saja, maka harus di
pikirkan untuk kepentingan bersama. Partai dan politik boleh berbeda, saling
berusaha mengambil hati konstituen atau masyarakat nya, tapi tetaplah saling
menjaga untuk persatuan bangsa, tidak perlu untuk saling menjatuhkan black campaign ketika iri melihat kepala
daerah, politisi atau partai lain yang sedang bekerja, berbicara dengan kerja,
tentunya lebih baik dari pada mencari-cari kesalahan orang lain. Jangan sampai
para elit bangsa ini keasyikan mencari kelemahan lawan politik dan akhirnya
meninggalkan ssuatu yang amanah yaitu bekerja untuk kepentingan masayarakatnya.
Di
lain pihak, ada saja ideologi atau suara yang di kampanyekan dalam rangka
menolak demokrasi dan pemilu ini, adalah
suatu hal yang tidak dapat di benarkan, karena saat ini bahwa tatanan yang
dapat menghimpun kesatuan kita adalah demokrasi dan konstitusi yang telah di
bahasakan dengan bahasa netral mengayomi semua kalangan. Ini merupakan konsep
yang sangat baik untuk kemajemukan tentunya di negeri ini. Dalam bingkai
demokrasi aturan syariat untuk setiap individu sudah di berikan kebebasan nya
yaitu untuk beribadah dan menyampaikan ajaran nya, lembaga-lembaga/institusi
formal bahkan undang-undang sudah masuk dalam lingkaran demokrasi ini. Jika kita
berdalih untuk mengharamkan demokrasi namun di sisi yang lain justru ikut
menikmati demokrasi baik secara kebebasan bersuara, pekerjaan sebagai abdi
negara, dan mengikut kepada system dan aturan bangsa ini tentunya suatu hal
yang sangat berbenturan sekali. Pada intinya sesuai dengan aturan ushul fiqh bahwa
apa-apa yang kita tidak bisa melkukannya semua maka jangan pernah
meninggalkannya semua. Maka lakukanlah perubahan menuju kebaikan itu secara
proses dan bertahap. Kemudian yang paling fatal lagi adalah jika paham
radikalisme di negeri ini mencoba ingin mengubur hidup sejarah perjuangan
bangsa dengan menggantikannya dengan sejarah baru, tidak peduli terhadap
kemajemukan dan pemikiran yang berbeda, mereka berbuat keras untuk meraih
mimpi-mimpi nya. Hal ini tentunya bukanlah suatu kebajikan dan kebijakan yang
tepat dalam melihat perbedaan.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religious dan mempunyai filsafat hidup yang mencerminkan
pandangan moral yang kuat. Suasana perubahan dalam masyarakat dengan sekalian
problem nya tersebut membutuhkan suatu disiplin ilmu yang berangkat dari metode
observasi terhadap kenyataan. Dengan observasi yang jujur kita akan mampu
mencatat sekalian hal yang terjadi, termasuk observasi kita mengenai bagaimana
bekerja menghadapi perubahan-perubahan tersebut, bagaimana ia “dijalankan”,
“dibelokkan”, “didiamkan”, dan sebagainya. Dengan melakukan sebuah pembahasan
konkrit yang teruji, terukur dan di terima semua kalangan negeri dan agama suku
bangsa ini menjadi bermartabat. Hanya observasi yang tidak mempunyai
kepentingan apa-apa mampu membuat deskripsi yang jujur. Indonesia bukan sebatas
wacana teologis, pragmatis dan apatis dalam mewujudkannya menjadi negara besar
tapi ia milik semua bangsa yang bersama dalam mewujudkan negara beradab,
berketuhanan yang sesuai dengan pengembangan negara dalam Islam yatiu baldhatun thayyibatun warabbun ghafur.
*Penulis Adalah Alumni Program
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta