Laman

Jumat, 14 Februari 2014

Titik Temu Ideologi Politik Demi Kesejahteraan Bangsa

Rahmat Kurnia Lubis*

Sejarah politik klasik mengisyaratkan bahwa kekuasaan lahir dari ketidakmungkinan individu mengatur diri sendiri akibat sarat nya kepentingan yang berbenturan. Jika pemikiran politik modern menyadari bahwa kekuasaan dalam bentuk negara diperlukan untuk membina kehidupan individu, maka kondisi ideal negara adalah perpanjangan tangan kekuasaan rakyat. Akan tetapi, kondisi ideal tersebut senantiasa berbenturan dengan realitas politik yang terhampar di depan mata rakyat.
Sering digambarkan bahwa mereka yang ada di kiri dikategorikan sebagai penganut sosialisme dan karena itu mempercayai pentingnya persamaan (equality) dan yang di kanan dikategorikan sebagai penganut kapitalisme dan karena itu mempercayai pentingnya kebebasan individu. Di tengah-tengah adalah mereka yang menganut campuran antara kebebasan dan persamaan dan menganut kebijaksanaan negara kesejahteraan (welfare state capitalism). Tetapi, dalam kenyataannya realitas politik modern tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan tersebut. Studi filsafat politik menunjukkan bahwa ada banyak posisi di antara ketiga titik itu. Jelasnya bahwa pembedaan prinsip dan haluan politik sebagai sebuah garis yang membentang antara kiri dan kanan semakin tidak memadai. Muncullah berbagai macam aliran seperti feminisme atau komunitarianisme, aktivisme, sekulerisme, liberalisme, dan begitupun yang berhaluan teologi. 
Belajar dari hal ini maka kita menyadari sepenuhnya, bahwa dengan meletakkan teori dalam kebijakan bukan berarti sejak saat itu dengan mudah merubah masyarakat atau selesailah pengaturan persoalan, tetapi sejak saat itu pula persoalan baru timbul. Hal ini berarti disatu sisi manusia membuat peraturan tetapi disisi lain ia tidak mampu untuk menguasai segala hal yang diaturnya. Timbullah kesenjangan dari apa-apa yang tertulis dalam peraturan dengan apa-apa yang terjadi dalam masyarakat sebagai penerapan peraturan, seperti yang dikenal dengan penyakit (patologi ) kejahatan dalam berbirokrasi dan mengelola negara. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan bukanlah sesuatu yang mudah dan jelas seperti keinginan bunyi pasal dalam peraturan tetapi sarat dengan intervensi metayuridis. Begitupun pembahasan dengan suatu kajian keagamaan, yaitu  berbicara adil dalam konteks agama dengan menyampaikan hukuman/sanksi yang di berikan tentu belum memberikan jaminan untuk sebuah efek jera bagi kehidupan. Sepertinya juga disisi yang lain orang bisa saja khawatir memberikan kebijakan dan akhirnya sistem, anggaran, dan kontrol berjalan di tempat karena khawatir salah mengambil kebijakan akhirnya harus mati dan qhisos seperti dalam hukum agama Islam. Disisi yang lain kita juga harus menghormati kehidupan, karena bisa jadi dengan hukum positif dalam sebuah negara yang berkonstitusi seorang pelanggar hukum bisa bertaubat, artinya negara masih memberikan hak kehidupan bagi yang mau memperbaiki kesalahan.
Dengan adanya sebuah lembaga yang legal, wajar dan formal, seperti halnya legislatif, kemudian pihak eksekutif dan yudikatif yang tidak buta dengan sisi-sisi kebenaran dan kemanusiaan yang dikawal oleh panggung demokrasi oleh lembaga konstitusi juga mereka yang terdiri dari komponen masyarakat yang cukup beragam,  menghilangkan keegoan, merelatifitaskan sebuah keputusan, karena mungkin keputusan kita masih ada yang paling layak dan paling relevan menjadi tonggak awal sebuah kemajuan dan peradaban. Ketika melihat realitas politik, elit dan partai menjelang pemilu di bulan April yaitu legislatif dan proses menuju presiden ini, maka harus di sadari bahwa tugas ini bukan hanya untuk satu rumpun, ideologi dan kepentingan saja, maka harus di pikirkan untuk kepentingan bersama. Partai dan politik boleh berbeda, saling berusaha mengambil hati konstituen atau masyarakat nya, tapi tetaplah saling menjaga untuk persatuan bangsa, tidak perlu untuk saling menjatuhkan black campaign ketika iri melihat kepala daerah, politisi atau partai lain yang sedang bekerja, berbicara dengan kerja, tentunya lebih baik dari pada mencari-cari kesalahan orang lain. Jangan sampai para elit bangsa ini keasyikan mencari kelemahan lawan politik dan akhirnya meninggalkan ssuatu yang amanah yaitu bekerja untuk kepentingan masayarakatnya.
Di lain pihak, ada saja ideologi atau suara yang di kampanyekan dalam rangka menolak demokrasi dan pemilu ini,  adalah suatu hal yang tidak dapat di benarkan, karena saat ini bahwa tatanan yang dapat menghimpun kesatuan kita adalah demokrasi dan konstitusi yang telah di bahasakan dengan bahasa netral mengayomi semua kalangan. Ini merupakan konsep yang sangat baik untuk kemajemukan tentunya di negeri ini. Dalam bingkai demokrasi aturan syariat untuk setiap individu sudah di berikan kebebasan nya yaitu untuk beribadah dan menyampaikan ajaran nya, lembaga-lembaga/institusi formal bahkan undang-undang sudah masuk dalam lingkaran demokrasi ini. Jika kita berdalih untuk mengharamkan demokrasi namun di sisi yang lain justru ikut menikmati demokrasi baik secara kebebasan bersuara, pekerjaan sebagai abdi negara, dan mengikut kepada system dan aturan bangsa ini tentunya suatu hal yang sangat berbenturan sekali. Pada intinya sesuai dengan aturan ushul fiqh bahwa apa-apa yang kita tidak bisa melkukannya semua maka jangan pernah meninggalkannya semua. Maka lakukanlah perubahan menuju kebaikan itu secara proses dan bertahap. Kemudian yang paling fatal lagi adalah jika paham radikalisme di negeri ini mencoba ingin mengubur hidup sejarah perjuangan bangsa dengan menggantikannya dengan sejarah baru, tidak peduli terhadap kemajemukan dan pemikiran yang berbeda, mereka berbuat keras untuk meraih mimpi-mimpi nya. Hal ini tentunya bukanlah suatu kebajikan dan kebijakan yang tepat dalam melihat perbedaan.  
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religious dan mempunyai filsafat hidup yang mencerminkan pandangan moral yang kuat. Suasana perubahan dalam masyarakat dengan sekalian problem nya tersebut membutuhkan suatu disiplin ilmu yang berangkat dari metode observasi terhadap kenyataan. Dengan observasi yang jujur kita akan mampu mencatat sekalian hal yang terjadi, termasuk observasi kita mengenai bagaimana bekerja menghadapi perubahan-perubahan tersebut, bagaimana ia “dijalankan”, “dibelokkan”, “didiamkan”, dan sebagainya. Dengan melakukan sebuah pembahasan konkrit yang teruji, terukur dan di terima semua kalangan negeri dan agama suku bangsa ini menjadi bermartabat. Hanya observasi yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa mampu membuat deskripsi yang jujur. Indonesia bukan sebatas wacana teologis, pragmatis dan apatis dalam mewujudkannya menjadi negara besar tapi ia milik semua bangsa yang bersama dalam mewujudkan negara beradab, berketuhanan yang sesuai dengan pengembangan negara dalam Islam yatiu baldhatun thayyibatun warabbun ghafur.

*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 

Pak admin, kristen itu mnurut anda gmn? Anita Setya Arifian


Terima  Kasih Anita yang kami Muliakan.

Kristen itu merupakan salah satu agama di Indonesia yang di akui keberadaannya oleh pemerintah. Mempunyai ajaran dan pemeluk, mereka sama haknya di berikan kebebasan  untuk memeluk dan meyakini keberadaan agama nya. Sebagai seorang muslim, kita harus hidup rukun, dan saling menghargai, untuk masalah keyakinan adalah urusan individu, tidak di perbolehkan seseorang muslim untuk memaksakan kehendak kepada Kristen begitu pun sebaliknya, kita tidak perlu mendakwahkan agama bagi orang yang sudah beragama. Biarkan lah kita hidup dengan agama apa yang menjadi keyakinan kita. kecuali jika pemuluk lain seperti Kristen, Hindu, Budha menanyakan tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan Islam.

Allah SWT telah menganugerahkan amanah kepada manusia agar kita menjadi khalifah, maka peran, tugas dan fungsi kita adalah beribadah kepada-Nya, dan mencoba mengelola bumi ini sebagai wujud rasa syukur  yaitu bersama membangun, mewujudkan kesejahteraan, kebaikan, dan sifat-sifat kemanusiaan di dalamnya. Etika, budaya, dan hukum di tambah agama telah mengajari umat manusia untuk damai dalam perbedaan. Allah SWT di dalam al Quran menjelaskan

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus) rasu-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan ‘rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu’. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” [An-Nisaa 4, 163-164], berikutnya dalam al Quran disebutkan Tuhan tidak akan memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim, pendusta, dan orang-orang yang menyimpang, karena sesungguhnya kelompok ini telah berada dalam kesesatan yang nyata, dimana Tuhan berfirman, "Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah tersesat, dalam kesesatan yang nyata"

Jadi orang yang tidak taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dan berada dalam kesesatan yang nyata. Dengan demikian bagi mereka yang berhak untuk mendapatkan hidayah maka Tuhan akan menunjukkan jalannya ke surga dan tidak ada seorang pun yang akan mampu menyesatkannya, dan bagi mereka yang berhak untuk mendapatkan siksa dan terseret ke dalam api neraka, tidak akan ada seorangpun yang akan mampu menjaganya dari siksaan adzab ini. Akan tetapi baik mereka yang berhak mendapatkan adzab ataupun mereka yang berhak mendapatkan pahala, pilihan tersebut  pada awalnya telah diserahkan di tangan manusia.

“Manusia itu adalah umat yang satu. Lalu Allah mengutus nabi-nabi, sebagai pemberi peringatan...“ [Q.S. Al-Baqarah. 2, 213]

Jika Allah berkehendak, Dia dapat dengan mudah membuat bangsa-bangsa yang berbeda menjadi hanya satu umat, memiliki seperangkat hukum yang sama, dan seluruhnya mengikuti Rasul yang sama. Namun, Dia memilih cara yang lain untuk mengukur cara keberImanan seseorang.  Dalam surat al Maidah kembali di tegaskan “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
 
Allah SWT  tidak akan memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim, pendusta, dan orang-orang yang menyimpang seperti ayat di atas. Dengan demikian bagi mereka yang akan mendapatkan hidayah maka Allah SWT akan menunjukkan jalannya yaitu jalan yang lurus dan tidak ada seorang pun yang akan mampu menyesatkannya, dan bagi mereka yang berhak untuk mendapatkan siksa dan terseret ke dalam api neraka, tidak akan ada seorangpun yang akan mampu menjaganya dari siksaan adzab ini. Akan tetapi baik mereka yang berhak mendapatkan adzab ataupun mereka yang berhak mendapatkan pahala, pilihan tersebut  pada awalnya telah diserahkan di tangan manusia untuk mereka pikirkan, mereka baca tanda dan ayat-ayatnya Allah SWT. banyak orang yang beragama selain Islam namun jika Allah menunjukkan jalannya selalu ada petunjuk walau ia awalnya pada keseseatan yang nyata, tapi hidayah Allah SWT akan mengetuk pintu hati manusia yang mau mencari kebenaran dan hidayah Allah SWT.
Terakhir perlu di jelaskan bahwa untuk urusan teologi atau akidah merupakan hak yang melekat bagi setiap jiwa, dalam surat al kafiruan dengan tegas bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Semoga kita mendapatkan hidayah dari Allah SWT untuk tetap berada jalan yang lurus. Wallahu ‘Alam.

Kamis, 13 Februari 2014

Damai Hak Hajat Semua Kehidupan



 
Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*


Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan tanpa pengecualian apapun ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan. Hal ini lah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuk nya sebuah kebangsaan, kemasyarakatan, atau kenegaraan. Mustahil terbentuk sebuah tatanan konstitusi, hukum atau negara yang merdeka, bersyarikat jika individu, kelompok dan golongannya semua membawa warna masing-masing tanpa ingin di akomodir oleh ketetapan hukum yang mengikat semua golongan.

Tanpa sikap yang saling mendukung dari jiwa, dan masyarakat nya, maka perdamaian seolah suatu hal mimpi, ke tidak sadar an manusia atas diri dan golongan nya telah melukai perasaan orang lain, memaksakan kehendak atas sebuah hukum negara atas satu ideologi, inilah yang memunculkan perbedaan yang merapuhkan semangat bersama kebangsaan, dari hal tersebut kiranya  pantas jika toleransi hingga perdamaian perlu diajarkan, dibentuk dalam diri setiap orang serta terus menerus diupayakan dan dipromosikan. Dalam hal ini badan dunia PBB melalui Sidang Umumnya pada tahun 1981 memaklumkan penetapan Hari Perdamaian sedunia pada setiap hari Selasa pekan ketiga bulan September. Hari khusus ini dimaksudkan untuk memperingati, mengajarkan dan memperkuat cita-cita perdamaian. Sidang Umum PBB tahun 2001 menetapkan tanggal pasti untuk perayaan Hari Perdamaian sedunia yakni setiap tanggal 21 September dan diumumkan sebagai hari gencatan senjata sedunia.

Ketika kita mengambil definisi kedamaian, persatuan, dan kehormatan dalam kaca mata Islam maka tentu nya menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat di tawar, ini merupakan cita dan wujud Islami yang sesungguhnya, maka tidak heran, pembebasan perbudakan menjadi misi utama rasulullah saw dalam mewujudkan perdamaian dan kehormatan bagi setiap individu. Dalam al Quran juga banyak sekali ayat-ayat yang melarang kepada manusia untuk berbuat kerusakan, kerusakan ini dapat di artikan sebagai bentuk kedzoliman terhadap kebebasan individu, lingkungan, dan lain sebagainya.  

Rasulullah saw telah membangun akhlak teladan dalam mencerminkan jiwa kebangsaan yang tinggi dalam menyatukan umat manusia hidup rukun di dalamnya, hal ini dapat kita jumpai dalam Piagam Madinah yang merupakan sejarah pertama dalam konstitusi Islam untuk mencapai konsensus bersama dalam masyarakat yang majemuk dan plural. Tujuan inisiatif dan ketetapan nabi Muhammad saw  adalah untuk mengorganisir dan mempersatukan umat manusia sebagai umat yang satu (ummat wahidah).

Di dalam Piagam Madinah ini disebutkan dasar-dasar hidup bersama masyarakat majemuk dengan ciri utama kewajiban seluruh warga Madinah yang majemuk itu untuk menjaga dan membela pertahanan-keamanan bersama, serta menghormati kebebasan beragama. Dalam kaitan nya dengan masyarakat Yahudi, Piagam Madinah menjelaskan: “Dan orang-orang Yahudi mengeluarkan biaya bersama orang-orang beriman (Muslim) selama mereka diperangi (oleh musuh dari luar). Orang-orang Yahudi Banu ‘Awf adalah satu umat bersama orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi itu berhak atas agama mereka, dan orang-orang beriman berhak atas agama mereka pula. Semua suku Yahudi lain di Madinah sama kedudukannya dengan suku Yahudi Banu ‘Awf” (Muhammad Hamidullah, Majmu’at al-Watsa`iq al-Siyasiyyah (Kumpulan Dokumentasi Politik), (Beirut: Dar al-Irsyad, 1389 H/1969 M), h. 44-45).

Tugas besar yang diemban oleh ummat manusia sebagai konsekuensi logis dalam penerimaan amanah dari Allah SWT adalah menjaga dan memelihara serta mengelola bumi. Sehingga bumi tidak terjadi kerusakan dan bumi bermanfaat bagi seluruh penghuni alam. Karena pada saat ini banyak kerusakan yang telah dilakukan oleh ummat manusia, sehingga menyebabkan hidup didalamnya tidak nyaman. Sesuai dengan firman Allah SWT “Telah nyatalah kerusakan di daratan dan di lautan sebagai akibat dari perbuatan tangan manusia sendiri (Q.S. Ar-Rum. 41). Oleh karena itulah Allah SWT melarang keras berbuat kerusakan dimuka bumi, mengutip kembali firman Allah SWT  “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakana [Q.S. Al-Qashash:77].

Kedua ayat tersebut memberikan penjelasan, betapa pentingnya pengelolaan lingkungan alam dalam ajaran agama Islam. Sehingga Islam mengajarkan kepada para pemeluknya, agar memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam upaya pelestarian nya. Sungguh tepat ungkapan yang menyatakan bahwa alam sekitar merupakan warisan nenek moyang kita. Ungkapan ini mengingatkan, betapa pentingnya pemeliharaan terhadap alam raya ini, sebab alam ini bukan hanya diperuntukkan bagi kita, tetapi juga bagi anak cucu kita kelak.

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” [QS al-Baqarah:11-12].
{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…”.

Perbuatan kerusakan tentunya dapat di artikan sebagai bentuk kedzoliman, yang membuat manusia atau makhluk tidak nyaman, kerusakan ini bisa terjadi terhadap sumber daya alam seperti air, udara, tanah dan hutan, tapi disisi yang lain kerusakan sering di lakukan dengan melakukan aktifitas-aktifitas kekerasan, membendung pikiran kreatif manusia, melakukan aksi yang tidak santun, mengkampanyekan suatu hal yang bertolak belakang dari cita-cita bangsa, mencoba membela agama dengan cara yang kasar. Semua ini tentunya bentuk kerusakan secara fisik dan mental.

Pesan dari kanjeng nabi saw yang mungkin sering di lalaikan umat manusia adalah “Siapa yang melawan dzimmi (non muslim yang tidak memusuhi Islam), sama dengan melawanku”. Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Sebagai ungkapan bijak harusnya kita harus sadari agama adalah untuk Allah SWT sedangkan tanah air adalah milik semua. Dan Allah mempertegas pernyataan ini kepada manusia dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. [Surat al Baqarah, ayat 60]. Sekali lagi berbuat kerusakan tentunya tidak hanya di lakukan untuk alam, namun kerusakan bisa terjadi akibat perselingkuhan agama dengan kepentingan, ketidakpahaman atas makna indah beragama. Marilah kita menjaga agama dengan menyampaikan pesan damai, persatuan, keadilan, dan mencintai tanah air ini untuk semua anak bangsa.

*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



Berkata Baik, Bijak dan Benar adalah Akhlak Islam




Oleh: Rahmat Kurnia Lubis*

Seiring dengan kedewasaan berpikir bahwa lisan dan logika merupakan timbangan untuk kematangan seseorang.  Maka tidak heran bahwa sesungguhnya peribahasa sering diungkapkan bagi setiap pemilik lidah untuk menjaga apa yang keluar dari lisannya. Sebab ketajaman lisan bisa lebih pedih daripada pedang. Ketajaman lisan mampu membuat damai, pun sebaliknya bisa membuat konflik. Dari bahasa yang keluar ini juga lah kemudian dapat di ukur tentang kewibawaan dan bisa tidaknya seseorang menjaga harga diri. Setiap sesuatu ada pintu sebagai pembuka untuk mengetahui seluk beluk dan isi yang akan dimasuki, maka pintu awal untuk mengetahui karakter seseorang adalah dari apa yang diucapkannya. 

Harus disadari, bahwa komunikasi yang baik itu tidak hanya cukup berkata benar, tapi ia merupakan tiga serangkai yang harus seiring sekata. Pertama, pembicaraan atau lisan yang baik yaitu berbicara dengan tutur kata yang sopan, santun dan tidak menyakitkan. Kita pernah mendengar seorang ustadz, dai, motivator, guru dan ibu yang berbicara dengan penuh kelembutan, berusaha menyampaikan bahasa dari hati. Begitu pun jika ada orang yang datang dengan amuk massa, menyampaikan sumpah serapah, bahas kotor. Dalam keadaan apapun hendaknya berucap dengan bahasa yang santun, terkontrol dan damai, maka dalam hal ini tidak akan ada alasan buat orang lain untuk kembali mengajak anda untuk berbicara lebih keras. Secara otomatis orang yang diajak berdialog akan menurunkan suaranya. Kejadian yang sering terjadi adalah ketika dalam kondisi amarah yang tinggi kemudian kita terbawa oleh suasana sehingga suara yang kita keluarkan tidak kalah lebih tinggi, akhirnya dalam situasi seperti ini kekerasan menjadi senjata dalam mengukuhkan pendirian tersebut. Pernahkah kita menyadari seiring masuknya suara dan pembahasaan yang tidak baik ini dalam diri manusia sering membuat orang salah sangka, merupakan langkah setan untuk mengobarkan dendam. Amarah ini lah kemudian yang menjadi gerbang untuk berbuat kejahatan dan kemaksiatan lainnya, dengan amarah manusia bisa saling fitnah, membunuh, dan perang.  Maka bertuturlah dengan bahasa yang baik.

Kedua, berkata dengan ungkapan yang bijak, tutur kata yang diasah dengan kemampuan yang membuat orang tenang, senang, dan damai justru menjadikan pribadi ini menjadi orang yang selalu ditunggu suaranya, karena dari dalam dirinya mampu memberikan motivasi, semangat bagi jiwa yang rapuh, bisa menempatkan setiap kata untuk tetap bermakna. Bagi penjual yang hebat atau direktur handal, penyampaian bahasa yang bijak akan menjadikan perusahaan maupun barang yang ditawarkannya akan laris di pasaran. Mungkin bisa jadi awal pertemuan dengan seorang direktur, marketing, ustadz dan motivator hanya sebatas pertemuan dan bahkan tidak menarik minat terhadap apa yang disampaikan, tapi kemampuan bahasa, kebijaksanaan kata yang diucapkan mampu membuat orang mengikuti apa saja yang diinginkan si pemilik bahasa. 

Suatu ketika Nabi Musa meminta kepada Allah SWT untuk menghadapi Fir’aun untuk dibimbing dan dikuatkan, dalam permintaan tersebut Nabi Musa berdoa,“Robbisrohli sodri wayassirli amri wahlul ‘uqdatammillisaani yafkahul kauli”. Ya Allah lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lancarkanlah lisanku dan hilangkan kekakuan dalam lidahku. Buatlah mereka mengerti akan ucapanku.

Ketiga, ungkapan bahasa yang baik dalam akhlak Islam adalah berkata benar. Banyak orang yang berbicara  mewakili berbagai macam profesi, namun jika ungkapan kata selalu bohong, tidak terbukti tentang apapun yang diucapkannya maka sebaik apapun yang dilakukannya, orang akan enggan dan menjauh. Perkataan yang mengandung unsur baik, jika dalam penyampaiannya tidak bijak, apalagi tidak ada nilai kebenaran di dalamnya menjadi sesuatu hal yang tidak berarti. Dengan tiga serangkai bahasa ini, maka ia tidak hanya sebagai ibadah, tapi ia mampu menciptakan perubahan, mengambil keputusan, dan menilai permasalahan dengan cara yang dapat diterima oleh semua lapisan. Allah SWT telah menyampaikan cara berbuat untuk sesuatu hal dengan sebaik mungkin, yaitu dengan mencakup tiga fondasi utama, tersebut di atas. Dalam Surat An Nahl ayat 125.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Kata al hikmah menurut kitab Al Qamus Al Muhith, bermakna adil, lembut, dan bagusnya pemikiran. Adapun dari pengertian syara bahwa al hikmah memiliki banyak makna, di antaranya adalah ketepatan ucapan dan perbuatan, sebagaimana ditulis dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Ar Razy. Dalam kitab Al Bahrul Muhith, hikmah dimaknai sebagai meletakkan segala sesuatu pada proporsinya. 

Al Mauizhah al hasanah adalah pelajaran dan peringatan yang baik. Al Khalil berkata, al mauizhah adalah memberi peringatan dengan kebajikan yang membuat hati senang. Al Hikmah dan mauizhah hasanah disebut dalam kitab Adab Al Bahts wal Munazharah sebagai al burhan (bukti, dalil) dan al khithab (pidato). Allah SWT menghubungkan kata al mauizhah dan al hasanah, Dalam ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan harus dijalankan dengan ungkapan kata yang tidak saja benar, tapi harus adil, bijak, dan baik sehingga setiap orang dalam persengketaan atau permasalahan apapun bisa dibicarakan bersama.

Setiap orang cenderung untuk menghakimi dan menilai apa yang dilihatnya. Jika dalam hal penyampaian tidak mengontrol dan membiasakan dengan ungkapan yang baik, bijak dan benar tentunya akan menjadi masalah bahkan bisa menjadi sumber konflik, walau sebenarnya kita ingin berbuat baik tapi kalau tidak dilakukan dengan cara, pembahasaan, kebijaksanaan tutur kata akan membuat semakin rusuh suasana.

*Rahmat Kurnia Lubis, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta