Oleh Muhammad El Maghfurrodhi
Kata ‘mazhab’
dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja dzahaba-yadzhabu
yang berarti pergi. Berdasarkan kaidah derivasi kata dalam bahasa Arab, ‘madzhab’
bermakna tempat pergi atau tempat yang menjadi tujuan dari aktivitas pergi.
Definisi madzhab secara istilah adalah pendapat, pemikiran atau ijtihad
seorang pakar agama Islam, yang sungguh-sungguh mendalami dan menguasai
ilmu-ilmu Islam, dalam memahami perkara kehidupan umat manusia dalam segala
aspeknya. Pemikiran seorang imam atau alim tersebut kemudian diikuti oleh umat
Muslim berdasarkan derajat penerimaan atas argumen sang imam sehingga pada
taraf tertentu kaum Muslim yang mengikutinya menjadi suatu entitas kelompok
atau ajaran dalam Islam.
Dakwah Islam
yang semenjak era Rasulullah SAW dan sahabat hingga masa-masa sesudah mereka
semakin meluas dan menyebar ke kawasan-kawasan baru, menyebabkan sentuhan dan
singgungan dengan budaya lain tidak terhindarkan lagi. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di peradaban kehidupan manusia pun semakin menjadi.
Kontak budaya dan perkembangan teknologi sangat menuntut Islam untuk memberikan
payung hukumnya mengenai urusan-urusan kehidupan yang dahulu, pada masa Nabi
SAW, tidak ditemukan atau tidak terjadi. Kondisi tersebut diperkuat dengan
tiadanya jawaban spesifik dalam Al-Quran dan sunah mengenai masalah-masalah
baru yang dihadapi umat manusia. Hal ini mendorong para ulama dan pemimpin
Islam di masing-masing wilayah untuk membuat keputusan atas hukum Islam
mengenai segala permasalahan umat pada masanya.
Perbedaan
madzhab lahir oleh sebab perbedaan dalam memahami ajaran yang terdapat dalam
Al-Quran dan sunah yang tidak bersifat absolut atau ajaran Al-Quran dan sunah
yang sifatnya zhanniy (fleksibel, masih bisa ditafsirkan). Sementara
pada ayat-ayat atau ajaran Al-Quran dan sunah yang qath’iy (tetap atau
pasti), ijtihad para ulama atau madzhab mereka bisa dipastikan tidak
berbeda.
Perbedaan dalam
madzhab yang hanya berkisar pada penafsiran ajaran Al-Quran dan sunah yang masih
samar artinya, bukan mengenai ajaran dasar Islam, menyebabkan perbedaan
tersebut dapat diterima oleh umat Muslim. Kecenderungan mendukung suatu madzhab
daripada madzhab yang lain tidak menyebabkan seorang Muslim keluar dari Islam.
Dalam bidang
fikih atau hukum terdapat empat madzhab utama, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali.
Madzhab Hanafi
dimulai dari pemikiran Nu’man bin Tsabit yang terkenal dengan sebutan Abu
Hanifah. Pemikiran hukumnya bercorak rasional. Madzhab ini lahir di kota Kufah
yang pada masa Imam Abu Hanifah sudah berperadaban tinggi. Berbagai persoalan
yang muncul banyak dipecahkan melalui pendapat (ra`yu),
analogi (qiyas), dan pengutamaan kemaslahatan (istihsan).
Pada masa pramodern, madzhab Hanafi adalah madzhab resmi Kekhilafahan Abbasiyah
di Irak. Kini, pengikut madzhab Hanafi tersebar di Turki, Suriah, Afghanistan,
India, Lebanon, dan Mesir.
Madzhab Maliki
diprakarsai oleh Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Asybahi atau Imam
Malik. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunah penduduk Madinah yang
cenderung tekstual. Bahkan, Imam Malik tidak pernah meninggalkan Madinah
kecuali ketika menunaikan ibadah haji. Beliau lahir, tumbuh, besar, hingga
menjadi mufti di kota wafatnya Nabi SAW tersebut. Karya besar beliau yang
hingga kini diwarisi oleh umat Muslim di seluruh dunia adalah buku Al-Muwatta,
kumpulan hadis Nabi SAW disertai penjelasan beliau mengenai nilai sunah yang
terkandung dalam setiap hadis.
Madzhab Syafi’i
dipelopori oleh Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i atau Imam Syafi’i.
Masa hidup beliau berlalu di tiga negeri, Baghdad, Madinah, dan Mesir. Oleh
sebab itulah warna pemikiran hukumnya cenderung konvergen atau pertengahan
antara arus tradisionalis dan rasionalis. Urusan dan persoalan kehidupan
masyarakat, khususnya bidang sosial, pada masa Imam Syafi’i semakin kompleks
sehingga selain berpegang pada Al-Quran, sunah, dan ijma’ ulama,
beliau juga mendasarkan pemikiran hukumnya pada qiyas. Imam Syafi’i
disebut sebagai yang pertama membukukan ilmu Ushul Fikih melalui bukunya Al-Risalah.
Pemikiran beliau cenderung moderat. Madzhab Syafi’i banyak dianut di pedesaan
Mesir, Palestina, Suriah, Lebanon, Irak, Hijaz, India, Iran, Yaman, dan
Indonesia.
Madzhab Hanbali
lahir berawal dari pemikiran Ahmad bin Muhammad bin Hanbal atau Imam Hanbali.
Beliau ialah murid Imam Syafi’i. Pemikirannya bercorak tradisionalis atau
fundamentalis. Karya tulisnya yang terkenal adalah Musnad, atau umat
Muslim biasa menyebutnya Musnad Imam Ahmad. Buku tersebut mirip dengan
kitab Al-Muwatta karya Imam Malik yakni berupa kumpulan hadis Nabi
Muhammad SAW. Madzhab Hanbali banyak dianut di negara Irak, Mesir, Suriah,
Palestina, dan Arab Saudi.
Meskipun umat
Muslim di seluruh dunia tersekat-sekat oleh madzhab, persatuan dan persaudaraan
sesama Muslim selalu terjalin dengan kesepakatan mereka untuk selalu setia
kepada Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber utama hukum Islam
tersebut menjadi faktor pemersatu umat Muslim yang tidak bisa ditawar lagi.
Bagi umat Muslim masa kini, sudah semestinya sikap saling menghormati
kecenderungan setiap Muslim dalam mengikuti madzhab hukum dalam Islam dimiliki
dan ditanamkan dalam jiwa mereka. Bagi umat Muslim yang mendiami daerah yang
gersang dan sangat sulit untuk mendapatkan air, ketentuan hukum mengenai wudhu
atau bersuci sudah barang tentu lebih longgar daripada ketentuan hukum yang
sama di wilayah yang kaya sumber air. Kondisi tersebut sangat mungkin
teranalogikan dalam perkara-perkara hukum lainnya. Jadi, sekali lagi, pada
dasarnya kita wajib menghargai perbedaan madzhab yang dianut umat Muslim. Pada
saat yang sama kita harus mengedepankan sisi persaudaraan sesama Muslim dalam
setiap hubungan muamalah kita dengan setiap Muslim.*
* oleh Muhammad
El Maghfurrodhi, diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar