Laman

Senin, 23 Desember 2013

AL-QUR`AN

Oleh Dr. Asep Usman Ismail



Al-Qur`an adalah kitab suci umat Islam. Secara bahasa Al-Qur`an berarti bacaan sempurna, bacaan berkualitas atau bacaan bermutu tinggi. Istilah Al-Qur`an terbenuk dari kata kerja qa-ra-`a yang berarti membaca. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah ism al-jâmid, nama kitab suci yang tidak bisa dijelaskan asal usul kebahasaannya secara etimologi. Dalam istilah agama Islam, Al-Qur`an adalah kalâm Allâh lafaz dan makna dalam Bahasa Arab yang jelsa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril secara mutâwatir yang membacanya bernilai ibadah. Adapun yang dimaksud dengan mutâwatir adalah bahwa turunnya Al-Qur`an diketahui dan disaksikan oleh orang banyak sehingga tidak mungkin Rasulullah SAW berbohong dalam pengakuannya menerima Al-Qur`an, wahyu dari Allah.
Sementara yang dimaksud bahwa Al-Qur`an adalah kalâm atau firman Allah lafaz dan makna mengandung arti bahwa Malaikat Jibril membacakan ayat Al-Qur`an kepada Rasulullah SAW seperti yang disampaikan beliau kepada para sahabat, dan sampai kepada kita secara otentik; tidak ada penambahan, pengurangan dan perubahan apa pun. Sekiranya Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur`an dari Malaikat Jibril hanya berupa ide, fikiran atau makna; lalu beliau memilih diksi  dan redaksi dalam Bahasa Arab, maka kemungkinan terjadi distorsi antara ide yang dikehendaki Allah dengan kemampuan Nabi membahasakannya dalam bahasa manusia. Hal itu tidak terjadi, karena Nabi SAW menerima Al-Qur`an lafaz dan makna.
Proses penyampaian wahyu dinamakan nuzûl Al-Qur`an yang berlangsung selama masa kenabian, yaitu 22 tahun 2 bulan. Al-Qur`an yang sudah diterima Rasulullah SAW dipelihara dalam hafalan para sahabat dan dicatat pada pelapah kurma, kulit dan tulang unta, serta benda-benda lain yang bisa digunakan untuk mencatat. Al-Qur`an dikumpulkan dalam bentuk buku (mush-haf) pada masa Khalifah Abu Bakar atas usul Umar bin Khattab; kemudian diperbanyak pada masa Usman bin Affan dalam tujuh mush-haf yang dinamakan Mush-haf Utsmani. Susunan Mush-haf Al-Qur`an terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah. Al-Fâtihah surah pertama dan Al-Nâs surah terakhir. Isi Al-Qur`an meliputi akidah, syari’ah, akhlah, kejadian dan akhir hidup manusia, serta sejarah umat terdahulu. Semuanya merupakan pelajaran berharga bagi manusia guna meyadari misi hidup dan kehidupannya di dunia.

Minggu, 22 Desember 2013

Aq mawu tanya doOngGgGgG. apaka seorang muslim memasuki gereja dan ikuT menyaksikan apa yg mereka kerja’an :: “apakah seorang muslim itU berdosa” (Chindut Chubyy)

Sobat Muslim Chindut Chubyy yang budiman.
Sebenarnya hukum memasuki gereja adalah tidak ada masalah apabila hanya sekedar pergi ke gereja tanpa melakukan aktivitas ritual tertentu dan di dalamnya tidak ada unsur ke syirikan dan aktivitas keagamaan. Namun perlu kita ketengahkan pendapat para ulama juga menyikapi hal ihwal ini.
Ibnu ‘Aidz dalam Futuh As Syam meriwayatkan bahwasanya orang Nasrani membuatkan makanan untuk Umar ketika beliau sampai di Syam, kemudian mereka mengundang Umar. Beliau bertanya, “Di mana?” Mereka menjawab, “Di gereja.” Maka Umar tidak mau menghadirinya dan Beliau berkata kepada Ali, “Berangkatlah bersama para sahabat agar mereka bisa makan siang.” Maka berangkatlah Ali, kemudian Ali melihat ke gambar, sambil mengatakan, “Tidak ada masalah bagi Amirul Mukminin (Umar) andaikan dia masuk dan makan.” Sikap para sahabat ini menunjukkan kesepakatan mereka tentang bolehnya masuk gereja meskipun di dalamnya terdapat gambar.  (Al Mughni Ibnu Qudamah, 4:16).
Para ulama di kalangan mazhab Malikiyah dan Hanabilah serta sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya. Tapi sebagian yang lainnya mensyaratkan harus ada izin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. Oleh karena itu hukum memasuki gereja seperti halnya untuk menghadiri perkawinan atau bertugas melakukan pekerjaan tertentu, bukanlah sesuatu yang diharamkan. Asalkan selama orang muslim tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan agama. Meskipun demikian, sebaiknya dia tidak melakukannya (masuk ke gereja) kecuali jika perlu dan mendesak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2:14143).
Imam Al Bukhari bahkan telah membuat bab dalam kitab Shahih-nya, Bab Shalat di Gereja. Dan Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya kami tidak masuk ke gereja kamu semua karena ada patung yang dimana di dalamnya ada gambar-gambar.” Dahulu Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma melaksanakan shalat di geraja kecuali kalau di gereja tersebut ada patung. Hal ini juga perlu kita sandarkan atas apa yang di sampaikan oleh Allah SWT dalam al Quran, surat Al Kafirun ayat 1 sampai 6, menjelaskan secara khusus tentang kewajiban kita beragama adalah beribadah kepada Tuhan yang kita sembah dan mereka para kafir silahkan beribadah kepada Tuhan yang mereka sembah, begitulah demokratisnya Allah SWT menyampaikan pesan wahyu.
Al Hanifiyah berpendapat makruhnya seorang muslim masuk ke gereja. Alasannya, karena gereja adalah tempat berkumpulnya setan. Di samping itu penulis mengemukakan bahwa makruhnya seorang muslim memasuki gereja adalah karena dikhawatirkan bahwa kedatangan seorang muslim tersebut justeru menambah semarak aktivitas gereja dan ini tentunya ditujukan bagi orang yang punya jabatan, orang terpandang, begitu pun bagi orang yang masih labil dalam beragama, dikhawatirkan keagamaannya justeru goyak akibat nyanyian gereja atau khutbah-khutbah yang di dengarnya di dalam gereja.
Sedangkan bagi yang mengharamkan ini, adalah bersandar kepada sabda Nabi Muhammad Saw, yang diriwayatkan al-Baihaqi dengan isnad shahih dari Umar radliyallah ‘anhu, beliau berkata:
“Janganlah kalian masuk menemui orang-orang musyrikin  di gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan (Allah) turun kepada mereka.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan 9/234. Tindakan ini menyerupai ciri khas orang kafir, padahal kanjeng Nabi kembali menyampaikan dalam haditsnya “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (dalam ciri khas mereka, pen.) maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
(Jawaban Ustadz Rahmat Kurnia Lubis)



Meneropong Tradisi Keilmuan Islam



Oleh M. Hafidz Ghozali*

Kemajuan suatu bangsa dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang ada di masyarakatnya. Ibarat antara isi dan wadah, ilmu pengetahuan merupakan isi dari kemajuan, sementara bangsa dan masyarakat merupakan wadah tempat bernaung ilmu tersebut.  Sebagaimana kita tahu, Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia memiliki tradisi keilmuan yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi keilmuan yang mapan. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi keilmuan, suatu bangsa tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal kemajuan.
Islam sendiri sejak awal sangat mendorong kemajuan ilmu ini. Beberapa wahyu seperti Q.S. al-‘Alaq: 1-5 sangat penting perananya dalam mendorong keilmuan Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya. Fondasi keilmuan Islam klasik sebenarnya tidak terlepas dari upaya para intelektual Islam dalam merespon persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pada perkembangan berikutnya, jawaban dan respon ulama ini kemudian disusun dan diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah kajian dan objek permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi ilmu-ilmu keislaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keilmuan Islam pernah memimpin dunia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini . Namun seiring rotasi sejarah,  perkembangan keilmuan ini beralih ke Barat.  Menurut Muhammad Iqbal, kemandekan yang terjadi di dunia Muslim tidak bisa dilepaskan dari sikap memusuhi sains dan cara berpikir rasional dari umat Islam sendiri. Secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam klasik yang bercorak tekstual-normatif belakangan lebih dominan daripada epistemologi yang berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Nalar Pemikiran Islam
Menurut Abed al Jabiri dalam bukunya Arab-Islamic Philosopy: a Contemporary Critique, untuk bisa memahami tradisi keilmuan Islam secara kritis, setidaknya harus didasarkan pada dua persoalan utama. Persoalan pertama terkait dengan  pemahaman akan sistem pemikiran Islam secara utuh. Sementara persoalan kedua terkait dengan keterkaitan antara ”kuasa” dan “pengetahuan.” Maksudnya, tradisi keilmuan tidak muncul dengan sendirinya, tapi selalu terkait dengan latar belakang sosial, politik dan budaya suatu masyarakat. Dari situ diketahui bahwa pada dasarnya aktifitas  pemikir muslim dalam berbagai variasinya tetap berkutat pada satu problematika umum yang sama, yaitu suatu usaha ”rekonsiliasi antara nalar dan wahyu”. Sementara terkait dengan latar belakang munculnya tradisi keilmuan bisa diketahui bahwa capaian dari pemikiran filsafat Islam dalam memecahkan problematika antar wahyu dan nalar tersebut sebenarnya memiliki keterkaitaan erat fungsi dan peranya sebagai ideologi.  Demikinlah, perkembangan kelimuan Islam terutama filsafat tidak bisa dilepaskan peranya sebagai alat ideologis oleh penguasa dan dijadikan sarana intelektual oleh para ulama untuk menyerang musuh-musuh mereka.
Sebagaimana kita ketahui, keutuhan negara dan solidaritas masyarakat yang sudah terwujud pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyidin mendapatkan masalah pada masa Dinasti Umayyah. Untuk menghadapi lemahnya solidaritas dan kekuatan masyarakat Islam itu,  pemerintahan Umayyah lebih terfokus pada upaya mempertahankan kelangsungan hidup dan berupaya membangun kemampuan untuk menekan masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ilmu. Kecenderungan ini semakin jelas pada masa dinasti Abbasiyah yang menjadi penerusnya.  Untuk menghadapi berbagai kekuatan musuhnya yang datang dari kelompok ahlu al-Bait (keluarga Nabi) yang  menggunakan ideologi gnostisisme, yakni keyakinan akan keberadaan sumber pengetahuan di luar akal dan illuminasi, Dinasti Abbasiyah lebih menekankan al-Quran dan Hadits yang dipadu dengan rasio.
Konflik antara dua tradisi yang mengambil bentuk antara pemikiran tektualis berhadapan dengan kaum ahli ma’rifat-mistis ini bermula pada periode awal pemerintahan Abbasiyah dalam mencari legitimasi politiknya dari khazanah Islam dengan pendekatan filsafat Yunani melawan kebudayaan Persia yang dibawa para aristokrat yang gagal melakukan perlawanan melalui medan real sosial-politik. Menyadari kekuatan lawan yang menggunakan khazanah keilmuan Salaf dipadu dengan logika Aristoteles sebagai kerangka pikirnya, maka kaum gnostik dengan berpegang pada logika dan semangat tradisi Persia kuno memperisai diri di balik pemikiran Syi`ah dengan inspirasinya pada tradisi Islam sendiri. Karena itu tidak aneh jika pada masa berikutnya, pola pemikiran Islam yang berkembang di Timur lebih banyak diwarnai pertentangan antara epistemologi bayani (tektualis) yang lekat dengan Teologi Sunni dengan irfani yang bersandar pada teologi Syi`ah (Tradisi iluminasi dan Gnostik) ini. Konflik kognitif ini sebenarnya juga memiliki akarnya pada pertentangan antara kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang menjadikan Mu’tazilah sebagai doktrin utama dengan Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang beraliran Syi`ah.  Jika nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah, maka nalar irfani (spiritual-intuitif) secara epistemologis cenderung tidak rasional.
Dinamika pemikiran yang berkembang di Islam Andalusia dan Maghribi dibawah kekuasaan dinasti Umayyah II memiliki nuansa yang berbeda dengan Islam bagian Arab-Timur yang masih dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Iklim keagamaan yang berkembang di Maghribi adalah Islam yang masih murni, dengan model pemahaman kaum Salafi dengan model fiqih hadits dan fatwa-fatwa sahabat dan paham Ahl Sunnah. Perkembangan ini kemudian mendapat sokongan dari Mazhab Maliki yang berwatak tektualis sebagai mazhab resmi negara menggantikan Mazhab Awza’i sebagai tandingan dari Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi Abbasiyah. Watak ortodoksi kalangan ulama Maliki yang melarang filsafat ke-Tuhanan dan metafisika Aristoteles, Menurut Al Jabiri jutru malah membawa perkembangan lingkungan ilmiah dan rasional di Andalusia atau yang kemudian dalam ranah pemikiran Islam disebut dengan epistemologi burhani. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat. Apa yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas sebagaimana logika Bayani, tapi menggunakan logika Aristoteles dengan metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Meski demikian, corak dominan yang berkembang dalam kelimuan Islam adalah epistemologi Bayani sebagaimana diwakili oleh sosok Imam Al-Ghazali bukan epistemologi Burhani yang muncul belakangan. Sementara  itu, pandangan Burhani yang diwakili pemikiran Ibn Rusyd malah berkembang di Barat. Padahal menurut, Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani sangat sulit untuk dijadikan landasan pengembangan sains. Pasalnya, padangan bayani  lebih bercorak teologis, bukan antropologis maupun kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat menjadi lebih pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains yang lebih antroposentrik-kosmologik. Pandangan epistemologi keilmuan Bayani ini cenderung menjadikan fenomena alam, moral dan sosial semuanya “terserah” pada Tuhan Pandangan ini menjadi sangat teologik-normatif bahkan cenderung mengarah pada mistisme, yang sudah barang tentu bertolak belakang dengan prinsip social sciences maupun natural sciences.

Pada akhirnya bisa dikatakan fenomena kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi ajaran Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan. Karena itu, Agar Islam dapat kembali pengembangan fenomena epistemologi keilmuan di dunia Muslim, maka sebuah keniscayaan bagi ilmuan Muslim untuk melakukan shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis), sehingga berdampak pada adanya temuan baru di bidang sains.  Paling tidak melalui beberapa tawaran diatas itulah peradaban sains dalam dunia Islam kembali mengemuka.
*Penulis adalah Alumnus Jurusan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

SILATURAHIM SEBAGAI UPAYA PEMERSATU AGAMA DAN BANGSA

Oleh Zuhairi Misrawi, MA* 
 
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”(QS. Ali ‘Imran: 103)
Bangsa yang bersatu terlahir dari adanya rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam anggota komunitas bangsa tersebut. Kebersamaan dalam satu bangsa ini pula yang diyakini menjadi sebuah kekuatan yang mendorong para pejuang kita sehingga rela mengorbankan jiwa raga demi tegaknya sebuah bangsa yang merdeka. Kebersamaan dan persaudaraan yang erat menjadi motivator ulung yang menyemangati para pejuang dalam memperjuangkan eksistensi bangsanya, bangsa Indonesia.
Membaca firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 103 di atas, semakin mengukuhkan bahwa Allah SWT menghendaki agar kita dapat menjadi umat yang bersatu,yang dibangun atas dasar rasa persaudaraan satu sama lain, rasa senasib sepenanggungan. Bila dalam konteks keagamaan, persatuan umat dibangun dalam sebuah ikatan persaudaraan seagama, persaudaraan Islam atau ukhuwah Islamiyah. Maka dalam konteks kebangsaan, di mana umat beragama berada dalam lingkup sebuah negara bangsa, maka yang perlu dikedepankan pula adalah prinsip ukhuwah insaniyah yaitu persaudaraan atas nilai-nilai kemanusiaan bahwa kita merupakan anggota komunitas bangsa yang sama, tanpa harus memandang dari agama, ras, suku atau kelompok mana berasal. Dalam prosesnya mewujudkan umat yang bersatu dalam asas persaudaraan, ayat ini juga mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi sarana pemersatu umat.
Berdasarkan ayat tersebut, setidaknya kita menemukan tiga poin penting sebagai alat pemersatu dan mempererat ikatan kebangsaan. Pertama; berpegang teguh pada ajaran Allah. Yakni ajaran yang berlandaskan pada nilai-nilai Qur’ani. Ajaran yang dapat mempererat ikatan persaudaraan di antara sesama manusia, bahkan terutama sesama muslim. Ajaran untuk saling peduli dan memahami satu sama lain. Ajaran yang dimulai dari tata cara sederhana, dengan saling bertegur sapa, bersilaturahmi mengenal satu sama lain, hingga akhirnya terjalin persahabatan yang erat.
Kedua; larangan bercerai-berai. Yang berarti ini adalah sebuah perintah bahwa bila kita ingin menjadi sebuah bangsa yang kokoh, hendaklah bersatu dan tidak terpecah belah. Perbedaan tidak akan menjadi faktor pemecah belah bangsa, bila kita bisa memahami latar belakang perbedaan yang muncul. Perbedaan juga bukan kendala, bahkan rahmat yang diberikan Allah kepada kita, bila kita mau bersilaturahmi, berbicara satu sama lain.
Ketiga; sebagai hamba Allah, sudah sepantasnya kita senantiasa mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah kepada kita. Mensyukuri nikmat tidak hanya dengan menengadahkan tangan, berdoa dan berterima kasih pada yang di Atas. Tapi juga berupa syukur nikmat bila kita mau berbagi dengan sesama, saling silaturahmi dengan peduli pada kehidupan yang lain, terutama pada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Bila kita mengamati secara lebih saksama, ternyata ketiga poin penting tersebut bermuara pada satu hal yang sama, yang menjadi salah satu inti ajaran Islam, dan juga teladan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hal tersebut adalah silaturahmi. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalin persaudaraan. Dengan persaudaraan yang kokoh, maka kita akan memiliki sebuah kekuatan berbangsa yang erat. Diibaratkan, keluarga sebagai sebuah komunitas berbangsa dalam lingkup kecil. Bila keluarga tersebut menjalin komunikasi dan silaturahmi yang baik terhadap sesama anggota keluarganya, maka akan timbul rasa memiliki yang kuat dari para anggotanya. Dalam hal ini, mereka akan rela melakukan apapun untuk menjaga keutuhan keluarganya. Mereka senantiasa berbagi, tak hanya pada saat tawa dalam kegembiraan, tapi juga saat duka dalam kenestapaan. Begitu pula hendaknya dalam suatu komunitas berbangsa.
Pada hakikatnya, silaturahmi bermakna bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Adapun secara etimologi kebahasaan, silaturahmi berasal dari dua rangkaian kata yaitu shilah yang berarti menyambung atau menyampaikan, dan rahm yang berarti kerabat, atau bisa pula bermakna lemah lembut dan kasih sayang.
Terlepas dari sedikit perbedaan arti yang ditimbulkan kata tersebut. Pada dasarnya hal tersebut tidak memunculkan perbedaan makna yang cukup signifikan. Silaturahmi dapat dimaknai sebagai menyambung atau menjalin persaudaraan dengan kaum kerabat, ataupun bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Dengan demikian, tanpa mengurangi kedua pemaknaan tersebut, silaturahmi dapat diartikan sebagai menjalin persaudaraan dengan sesama dengan bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Allah SWT pun senantiasa memotivasi setiap mukmin dengan memberikan ganjaran berupa surga, agar selalu menjalin silaturahmi dan berbuat baik terhadap sesama. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman-Nya QS. al-Ra’du: 21-23
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan (mengadakan hubungan silaturahmi dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya….” 
Lalu, bagaimanakah caranya kita menjalin silaturahmi tersebut? Al-Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan bahwa menjalin silaturahmi hendaknya dimulai dari orang-orang terdekat kita, yaitu para kerabat dalam sebuah keluarga. Sebab, keluarga merupakan habitat utama untuk memupuk persatuan, menumbuhkan kasih sayang, dan menjadi tempat perlindungan dan pertolongan yang pertama.
Hal tersebut akan dapat terwujud bila kita senantiasa bersikap santun terhadap sesama anggota keluarga, turut bersimpati dan berempati terhadap cobaan atau musibah yang menimpa mereka, dan menunjukkan rasa cinta kasih kita terhadap mereka. Baik dengan saling berbagi dan peduli, memahami yang lain, ataupun hanya dengan sebuah upaya minimal yaitu bertegur sapa dan senyuman.
Dalam kaitannya memperkokoh ikatan kebangsaan, silaturahmi tidak hanya dibangun di antara sesama muslim, tapi juga suatu keharusan membinanya dengan siapapun tanpa memandang muslim ataupun non-muslim. Dalam QS. al-Mumtahanah [60]: 8 Allah SWT berfirman: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Al-Wahidi dalam Asbab al-Nuzul mengungkapkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Zubeir ibn al-‘Awwam. Ia mengatakan: “Suatu ketika Qutailah hendak mengunjungi anaknya Asma binti Abu Bakar dan memberinya beragam hadiah. Saat itu, Qutailah adalah seorang perempuan non-muslim, sehingga Asma pun enggan menerima hadiah dari ibunya, bahkan tidak mempersilahkan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Mengetahui hal tersebut, Rasulullah lalu menanyakan apa gerangan yang terjadi hingga ia tidak berkenan terhadap ibunya. Lalu turunlah ayat tersebut. Rasulullah pun kemudian memerintahkan kepada Asma untuk menerima pemberian ibunya, dan mempersilahkannya untuk mengunjungi rumahnya.”
Sehubungan dengan ayat ini, dalam Shahih al-Bukhary disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Asma, jalinlah silaturahmi dengan ibumu!”
Pentingnya silaturahmi ini juga terlihat dari pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa menjalin silaturahmi adalah sebuah kewajiban. Bahkan memutuskan tali silaturahmi dapat dikategorikan sebagai perbuatan dosa besar. Allah SWT berfirman: Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan tali kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya), dan dibutakan penglihatannya.”(QS. Muhammad: 22-23)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa secara umum ayat ini berbicara larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Lalu, kerusakan seperti apakah yang dimaksud? Maka, kelanjutan ayat ini merincinya secara lebih khusus, bahwa di antara perbuatan kerusakan itu adalah dengan memutuskan tali kekeluargaan atau tali silaturahmi. Jadi sesungguhnya bila kita telaah secara saksama, dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan di bumi ini, dengan menggalang persatuan dan menjalin silaturahmi terhadap sesama, dengan bersikap ihsan yaitu ramah dan santun dalam bertutur kata, ringan tangan dalam berbuat, bahkan rela menyisihkan harta untuk kepentingan yang membutuhkan.
*Penulis adalah Intelektual Muda Nahdhatul Ulama